Rabu, 19 Januari 2011

SEORANG MUKMIN DENGAN ILMU DAN HARTANYA

"Bahwasanya Nabi Muhammad saw pernah berkata: Seorang hamba yang dikaruniai Allah harta dan ilmu, maka dia berusaha dengan karunia itu memperkuat taqwa kepada Tuhannya, menghubungkan silaturrahminya dengan yang lain, dan berbuat amal yang benar (haq) karena Allah SWT, maka hal ini adalah kedudukan yang amat mulia." (Riwayat Tirmizi dari Abi Kabsyah Al Anshari).
Rezeki yang melimpah ruah.Sungguh banyak sekali nikmat dan rezeki yang telah dilimpahkan Allah kepada hambaNya. Sedemikian banyaknya sampai kita tak mampu menghitungnya (bahkan sampai ada yang kufur nikmat, tidak menyadari apa yang telah ia nikmati selama ini adalah semata-mata berasal dari Allah). Maha benar Allah yang menyatakan dalam firmanNya (yang artinya):"Dan Allah telah memberi kamu setiap apa yang kamu perlukan (minta). Dan andai kamu hitung akan nikmat Allah kepada kamu, pastilah kamu tak mampu menjumlahkannya. Sesungguhnya manusia itu jualah yang zalim dan ingkar." (QS. Ibrahim XIV: 34).Diantara rezeki dan nikmat itu yang amat menonjol sekali diinginkan manusia adalah harta dalam segala bentuknya. Sebab dalam realitasnya, hartalah yang demikian cepat dan secara spontan dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia. Tidak heran apabila manusia begitu giat dan gigih mencari dan mengusahakan harta. Hampir seluruh kebutuhan hidup ini baru dapat ditanggulangi dengan harta. Menurut pandangan dan pertimbangan apa pun juga, mencari harta adalah halal dan sebagai suatu keharusan hidup, selama usaha itu tetap di atas landasan kewajaran dan kepatutan, senantiasa dalam batas-batas kebolehan menurut hukum moral dan akhlak, hukum peri kemanusiaan yang fithri, istimewa menurut hukum Allah Rabbul Alamin.Rezeki dan nikmat yang kedua, yang juga amat dibutuhkan oleh manusia dalam hidupnya adalah ilmu, terutama bagi orang yang memahami nilainya. Sebab cukup logis, ilmu dapat digunakan untuk memudahkan dan melapangkan jalan untuk mencapai harta. Kenyataan hidup menunjukkan betapa sulit dan rumitnya orang beroleh harta bagi kebutuhannya, bila orang itu tidak dikaruniai rezeki berupa ilmu dan hikmah.Islam melalui Al-Quran dalam hal ini mensinyalir di akhir ayat 11 surat Mujadalah:"Allah akan mengangkat kedudukan orang-orang mukmin dan orang-orang yang diberi ilmu naik beberapa tingkat."Bahkan Allah SWT menegaskan:"Allah memberikan hikmah (ilmu) kepada siapa yang dikehendakiNya. Dan barangsiapa yang dilimpahi hikmah, berarti sesungguhnya ia telah diberi kebaikan yang amat banyak." (QS. Al-Baqarah II: 269).selain dari itu ada lagi nikmat yang amat diperlukan oleh manusia dalam hidupnya, bahkan nilai-nilainya lebih tinggi dan lebih berpengaruh, yaitu kesehatan. Demikian tinggi dan pentingnya, sampai ialah yang akan menentukan harga nikmat harta dan ilmu. Tidak akan ada artinya harta dan ilmu di tangan orang yang tidak sehat, yang sering sakit-sakitan dan dirongrong oleh penyakit. Bahkan bisa jadi akibat sering sakit, maka ludeslah semua harta benda yang dimilikinya untuk biaya berobat. Apabila orang dihadapkan untuk memilih antara harta, ilmu dan kesehatan, maka sudah barang tentu pilihan pasti jatuh kepada kesehatan. Biarlah tidak punya harta dan ilmu, tapi badannya sehat segar bugar. Dan orang yang akan dihadapkan kepada keraguan untuk memilih antara harta dan ilmu, maka sebaiknya ia memilih ilmu, karena apa artinya harta, kalau hanya menjadi bulan-bulanan orang yang berilmu. Orang bodoh yang berharta banyak akan dengan mudah kehilangan hartanya bila ia mudah percaya dan diperdaya oleh orang yang berilmu. Tapi ada juga yang memilih harta, dengan alasan apalah artinya ilmu di tangan seorang yang miskin, sengsara dan kelaparan. Di samping harta, ilmu dan kesehatan, maka banyak juga yang memandang bahwa kecantikan atau kerupawanan adalah satu rezeki dan nikmat yang dibutuhkan pula. Satu sajapun diantara empat itu dapat dimiliki seseorang dalam hidupnya, sudah dapat mengantarkannya ke arah kehidupan yang menggembirakan, bila ia pandai bersyukur dan pandai-pandai mengelola dan memanfaatkan segala nikmat yang ia miliki. Apalagi bila seseorang bisa memiliki semuanya, maka lengkaplah kebahagiaannya karena itu adalah puncak kenikmatan atas karunia yang diberikan oleh Tuhan.
Mempergunakan rezeki.Setiap makhluk yang telah diciptakan oleh Sang Khaliq (Allah) untuk hidup sementara di dunia ini, semuanya memperoleh rezeki yang 4 macam itu seperti yang telah diterangkan di atas, tak ada yang tidak kebagian. Bedanya cuma tentang banyak dan sedikitnya, lengkap kurangnya, itu saja. Itu adalah keadilan dan kerahiman Allah saja, sebab tidak hanya berkuasa mencipta dan menjadikan saja, tapi Ia (Allah) juga bertanggungjawab kepada makhluk yang dijadikanNya di bidang rezeki.Cuma rezeki itu tidak datang begitu saja. Ia harus diusahakan dan dicari. Tugas mengusahakan dan mencari rezeki itu sudah dilaksanakan seluruh manusia, terkadang tanpa disuruh sekalipun. Pembawaan dan sifat tabiat manusia dengan sendirinya telah mendorong masing-masing. Hasil dari usaha dan pencaharian itu erat hubungannya dengan kesungguhan dan ketekunan seseorang, dalam hal ini Allah menegaskan (yang artinya):"Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (QS. An-Najm LIII: 39).Kemudian Allah mempersilahkan:"Ia telah menjadikan bumi itu mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di semua pelosoknya dan makanlah sebagian dari rezekiNya. Tapi ingat, kepadaNya kamu akan kembali." (QS. Al-Mulk LXVII: 15).Sesudah berusaha dan mencari, sekian banyak diantara manusia cuma beroleh sederhana, hanya sedikit, malah banyak pula yang terus menerus dalam kekurangan. Tapi ada pula diantaranya yang beroleh banyak dan malah berlebihan sampai melimpah-limpah. Kepada golongan yang belakangan inilah tulisan ini kita hidangkan, agar rezeki itu menjadi rezeki yang baik, suci, diberkahi dan diridhai Allah SWT, banyak manfaatnya dalam kehidupan dunia dan akhirnya menjadi sebab kebahagiaan kelak di akhirat.Dalam hal ini, selain agar yang beruntung beroleh rezeki yang banyak itu jangan menjadi pengumpul harta, lalu menghitungnya saja, kemudian menyimpan dan menguncinya dalam lemari besinya dan tiada melimpah lagi keluar. Kemudian kiranya mereka jangan sampai tergolong ke barisan "Al-hakumut-taka-tsur", orang-orang yang cuma terperdaya oleh keinginan dan ketamakan ingin berharta yang tiada habisnya, yang tetap berfilsafat, bahwa mana bisa bertambah banyak, apabila yang sudah terkumpul itu sering-sering dikurangi, karena yang dikeluarkan itu bukan untuk bisnis, hanya untuk sosial dan amal saleh belaka. Maka celakalah mereka yang dalam hitungnya suka menghitung-hitung untung ruginya dalam berbuat kebaikan, karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terperdaya oleh fatamorgana keindahan duniawi.Dari hadist di atas dapatlah disimpulkan tiga perkara, sebagai berikut:1. Supaya harta dan ilmu itu dipakai dan digunakan untuk dan memperkuat taqwa kepada Allah, Tuhannya. Semakin menyadarkannya, bahwa harta dan ilmu itu tidak lain dari kurnia yang difasilitaskan Allah kepadanya, dengan suatu maksud yang tertentu dariNya. Sebab itu harta tersebut haruslah dipakai, dipergunakan dan dibelanjakannya dengan cara dan kepada jalan yang diridhai oleh Pemberinya, yaitu Allah SWT, dan bukan hanya ditumpuk dan dihitung-hitung demi kepuasan nafsunya belaka.2. Supaya harta dan ilmu dipakai dan dipergunakan untuk menghubungkan silaturahmi dengan sesama manusia, lebih erat dan kuat, bukan menyebabkan menjadi renggang, retak dan putus silaturahmi. Menyebabkan ia semakin kasih dan sayang kepada sesama manusia, hingga iapun dengan sendirinya akan dikasihi dan disayangi oleh semua orang, dan bukan sebaliknya, harta dan ilmu itu membuat orang marah dan benci kepadanya.3. Supaya harta dan ilmu itu dipakai dan dipergunakannya untuk menegakkan amal-amal yang haq (hak), amal-amal yang bermanfaat bagi kebaikan dan kepentingan masyarakat dan pergaulan hidup bersama, dengan nawaitu (niat) karena Allah, sebagai jasa baiknya dalam hidup, dimana imbalannya kelak akan diterimanya di sisi Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar