Minggu, 23 Januari 2011

Cara Mendownload Video Youtube Menggunakan Download Helper

Cara Mendownload Video Youtube Menggunakan Download Helper

Sudah cukup lama saya memposting Cara Mendownload Video Youtube di hakimtea.com lalu diimport ke hakimtea.net dan memperhatikan komentar yang masuk baik di hakimtea.com maupun hakimtea.net sepertinya banyak teman-teman dan pengunjung blog ini yang merasa kesulitan dengan cara download youtube yang saya tuliskan dulu padahal saya sendiri oke-oke saja dan lancar-lancar saja mendownload video dari youtube menggunakan cara tersebut.

Bagi teman-teman yang masih kesulitan, saya coba tuliskan cara baru (bagi yang baru tahu) cara mendownload video youtube lebih mudah dan praktis menggunakan add on firefox. Langsung saja:

Syaratnya Anda harus menggunakan browser firefox, jika belum punya browser firefox download dan instal dulu disini.

Namun jika Anda sudah menggunakan Browser Firefox ikuti caranya dibawah ini.

Buka browser firefox dan instal add-on Download Helper klik disini, setelah terbuka klik tombol Add to Firefox. Tunggu sampai download selesai lalu restart browser Firefox Anda.

Nah, browser firefox Anda sekarang telah dilengkapi Add-on Download Helper alat untuk mendownload video dari youtube!

Adapun untuk mendowload video dari youtube caranya mudah saja:

1. Buka youtube dan cari video yang ingin Anda download.

2. Lalu klik tanda segitiga kebawah di pinggir icon DownloadHelper (tiga bola berwarna kuning, merah dan biru) disamping Addressbar pada menu Navigation Toolbar. Perhatikan gambar berikut:

Peta Objek Wisata Taman Wisata Alam Carita

3. Muncul kotak dialog untuk menyimpan hasil download pada komputer Anda, pilih saja mau disimpan di folder apa terserah Anda, tunggu hingga proses mendownload selesai.

4. Beres!

Gampangkan? Kalo masih bingung ikuti penjelasan lewat video langsung pada pembuat Add-on DownloadHelper ini.

Kalo mau nonton video yang sudah saya download sambil menuliskan artikel ini bisa langsung lihat di bawah ini:

Lagu lawas miliknya Rob Thomas feat Santana tapi masih mantab kan :mrgreen: .

Rabu, 19 Januari 2011

IKHLAS


ikhlas

"Berkata iblis: Ya Tuhanku, oleh karena Engkau telah menetapkanku sesat, sungguh akan kuusahakan agar anak manusia memandang indah segala yang tampak di bumi dan aku akan sesatkan mereka semua....Kecuali hamba-hambaMu dari antara mereka yang ikhlas.........(Al-Hijr: 39-40).

Sepintas lalu saja, memperhatikan ayat yang dicantumkan di atas ini, sudah dapat ditarik suatu garis, bahwa syaitan dan iblis yang terkenal dengan 1001 tipudaya, menjerumuskan manusia ke dalam perangkapnya, supaya terjauh dan terpisah dari akhlak, dari hidayah ilahi dan selanjutnya supaya mereka selalu berada dalam kebatilan dan kesesatan. Perhatikanlah betapa congkaknya, berani memamerkan rencananya: Aku akan berusaha agar anak manusia memandang indah segala yang tampak dalam kehidupan ini, walaupun di dalam bungkusan yang kelihatan indah itu, penuh dengan keburukan dan kejahatan; penuh dengan kebatilan dan kemungkaran.
Malah termasuk dalam keahlian syaitan, ialah memutarbalikkan keadaan. Ia mampu menukar keindahan yang sebenarnya indah menjadi jelek yang menjijikkan, persis sebagaimana pandainya menyelimuti sesuatu yang jelek dan keji, sehingga tampak indah, berkilat, dan gemilang...
Anak manusia yang mudah terpukau oleh keindahan, tanpa bisa membedakan emas dengan loyang yang hanya melihat kilat dan bayangan lahiriah saja, merekalah yang akan jadi mangsa yang empuk bagi syaitan dan iblis.
Orang-orang yang beginilah menurut syaitan yang dapat disesatkannya sekalian, tanpa pilih dulu.
Syaitan sungguh yakin akan suksesnya rencana ini, setelah mempelajari kepribadian makhluk yang bernama manusia itu.
Konon kata sahibul hikayat, ketika Allah sudah mencetak dan membentuk Adam dari tanah, berupa rangka manusia, tetapi belum diberi nyawa, maka rangka manusia Adam itu ditaruh pada sebuah tempat. Di kala itu jenis makhluk syaitan ini sengaja datang untuk melihat-lihatnya.
Sesudah memperhatikan bahwa pada tubuh calon manusia yang dipersaksikannya itu banyak sekali lubang-lubang, maka pada saat itu pun syaitan sudah meramalkan bahwa sungguh banyak sekali jalan masuk bagi memperdayakan makhluk yang bernama manusia tersebut.
Memang demikianlah halnya. Manusia mudah sekali diperdayakan melalui segala keindahan lahir, kehidupan duniawi ini.
Tapi namun demikian, satu golongan anak manusia, diakuinya sendiri ketidaksanggupannya memperdayakannya, tak mempan segala tipu daya dan makarnya kepada golongan tersebut, yaitu para almukhlishin, orang-orang yang ikhlas. Hanya golongan inilah yang tak dapat didekatinya. Dan kalaupun diberani-beranikannya juga bertemu dengan para almukhlisin ini, namun ia tak akan pernah beroleh kemenangan, ia akan pulang kembali dengan kecewa...

Ikhlas adalah Jiwanya Amal
Gambaran yang dilukiskan di atas jelas menunjukkan betapa tingginya kedudukan ikhlas, betapa terhormatnya para almukhlisin dalam pandangan Allah SWT. Ikhlas adalah satu kriteria untuk menetapkan diterima atau ditolaknya amal ibadah seseorang dari umat yang mengaku telah Islam dan telah beriman. Tidak usah bersusah payah mencari definisi ikhlas itu menurut Islam. Kita cukup mengetahui satu prinsip saja, yaitu bahwa Iman ialah kepercayaan kepada Allah dan Islam ialah satu ketundukan dan kepatuhan kepada Allah. Maka semua tindak dan gerak, semua kata dan perbuatan, semua amal dan ibadat seseorang Muslim dan Mukmin, haruslah karena Allah belaka, lantaran hendak mencari mardhatillah semata.
Allah hanya menginginkan, kiranya niat dan maksud tujuan hambaNya berkata dan berbuat hendaklah karena Ia saja, jangan karena yang lain. Ini saja yang dikehendaki Allah, yang lain tidak dimintaNya. Jangan menyekutukan Allah dengan yang lain, dalam bentuk apapun. Sebab keMAHABESARANNya jangan sampai disaingi oleh apapun dari makhluk yang diciptakannya sendiri. Simak saja ayat Al-Quran berikut ini:
"Sesungguhnya Allah tak dapat mengampunkan, apabila Ia dipersekutukan dan Ia dapat mengampunkan selain itu bagi siapa yang Ia kehendaki. Dan siapa yang menyekutukan Allah, maka sungguh sudah amat jauh sekali tersesatnya..."(QS. An-Nisa: 115).
Oleh sebab itulah, maka ikhlas ini menjadi alat penentu bagi amal dan ibadah seorang mukmin. Dan siapa saja yang benar-benar ikhlas, cuma Allah sajalah yang mengetahuinya, kendatipun semua ini bisa terselubung oleh kepandaian manusia dalam membungkus rapat-rapat apa yang ada dalam hatinya. Sepandai-pandainya manusia menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya dengan segala tipu dayanya, sungguh Allah akan tahu hakikat niat yang sebenarnya.
Oleh sebab itu, Allah berfirman dalam Al-Quran:
"Mengapakah ia tak mau tahu...
....apabila nanti dibangkitkan isi kubur, dan dibelah dadat menengok hasil didalamnya. Di hari itu Tuhan mereka akan menceritakan hakikat yang sebenarnya." (QS. Al-'Adiyat: 9-11).
Sehubungan dengan ini, banyak sekali hadits yang menerangkan, memang keihklasan dalam beramal dan beribadah itu benar-benar menjadi barometer atas sah dan tidaknya ibadah-ibadah tersebut. Sedang untuk menetapkan ikhlas dan tidaknya seseorang, tidaklah ditentukan oleh orang yang bersangkutan, tidak pula oleh orang lain. Sebab ikhlas adalah urusan dan tugas hati dan cuma Allah saja yang tahu pendirian hati para hambaNya.
Benar lidah dapat dijadikan ukuran untuk mengetahui isi hati, tapi tidak selalu dapat dipercayai. Karena lidah dengan kelunakan dan kelemasannya mampu menghancurkan besi dan membakar dunia, tapi dengan itu juga ia bisa berputar dan berbalik-balik sendiri. Makanya karena itulah Allah bersabda:
"Ada dari sebahagian manusia, yang bicaranya amat menakjubkanmu dalam kehidupan duniawi. Tapi Allah membuktikan atas apa isi hatinya, ternyata ia sebenarnya adalah seorang musuh yang amat jahat. (QS. Al-Baqarah 204).
Dalam satu hadits, Rasulullah SAW mengisahkan peristiwa di hari kiamat di kala menghadapi hari penghisaban.
Ada tiga golongan, yang oleh karena merasa akan jasanya, telah meyakinkan diri akan masuk surga, yang pertama ialah si Qari; ditanyakan kira-kira apa amal kebaikan yang sudah dikerjakannya dalam hidup. Dengan bangga si Qari menjawab: Aku tekun membaca Quran, kubaca di tengah malam, ketika orang sudah tidur nyenyak. Allah menjawab: Engkau belum berhak lagi akan surgaku, sebab amalmu itu bukan karena Aku, tapi supaya orang mengatakan engkau seorang yang teramat Qari.
Kepada Allah bertanya pula kepada si Syahid, lalu dengan lantang menerangkan: Aku telah berjihad perang di jalan Allah, maka terbunuhlah aku! Maka demikian juga jawaban Allah kepada si Syahid ini: "Sebab engkau berperang supaya orang mengatakan dan memujamu sebagai pahlawan yang berani mati, bukan karena Aku semata."
Terakhir, Allah bertanya pula kepada si Dermawan, lalu mendabik dada, bahwa hartanya telah banyak habis, demi menegakkan agama. Juga sama dengan dua rekannya, Allah menjawab serupa, sebab engkau berbuat demikian, bukan karena mengharap ridhaKu, tapi agar orang memuji engkau sebagai seorang yang amat dermawan dan pemurah.

Pesan Rasulullah tentang ikhlas
Sebagai penutup, kita muatkan di sini serangkaian wasiat Rasulullah tentang ikhlas itu, sebagai berikut:
"Aku telah diberi wasiat oleh khalilku dengan empat macam kalimat yang bagiku semua lebih kucintai dari dunia dengan segala isinya. Beliau berkata kepadaku:
1. Kokoh-kokohkanlah buatan kapalmu, sebab lautan amat dalam sekali.
2. Perbanyaklah perbekalanmu sebab perjalanan bukan main panjangnya.
3. Ringankanlah punggungmu untuk memikul, sebab halangan dan rintangan amat banyak dan hebat sekali.
4. Ikhlaskanlah amalanmu, sebab mata pengontrolannya amat sangat tajamnya.
Dari urutan pesan Nabi ini, nyata benar bahwa ikhlas mempunyai peranan penting untuk menentukan. Andai kapal yang akan ditumpangi melayari lautan hidup sudah demikian kuat dan kokoh konstruksinya, bekalpun sudah lengkap dan berlebihan, sedang bahu sudah siap sedia memikul segala beban yang berat, namun pelayaran itu tak juga akan diberkahi kalau tidak dijiwai oleh semangat ikhlas.

Menyiapkan Generasi Taqwa

Anak-anak adalah amanah ataupun titipan Allah SWT kepada setiap ayah dan bunda. Bukan sebagai titipan biasa yang hanya menghendaki pemeliharaan, penjagaan, akan tetapi harus dikembangkan, dan akan dimintakan pertanggungjawabannya baik di hadapan Mahkamah Ilahi maupun dalam mahkamah sejarah di dunia ini.
Dalam Al-Quran ditegaskan: "Hai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkanNya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan itu." (QS.At-Tahrim:6).
Dalam salah satu hadits diterangkan: "Tiap-tiap anak dilahirkan dalam keadaan suci bersih. Ayah bundanyalah yang menjadikan anak itu seorang Yahudi, atau Nasrani, atau Majusi." (HR.Al Hakim).
Dalam ilmu paedagogie ada satu teori yang disebut Tabularasa teori, yang menyimpulkan bahwa setiap anak yang lahir adalah laksana kertas putih, tergantung sepenuhnya kepada ayah ibundanya untuk mewarnai anak itu: merah, hijau, biru atau lainnya, menurut citra dan kehendak ibu dan bapaknya itu.
Allah SWT bukan saja memerintahkan untuk memelihara (mengembangkan) kehidupan dan kemajuan anak-anak sendiri, akan tetapi sekaligus diberikan petunjuk-petunjuk yang konkrit berdasarkan kisah-kisah, dimana diuraikan garis-garis besar pendidikan apa yang harus diutamakan kepada anak-anak tersebut.
Dalam Al-Quran ada satu surat bernama Surat Luqman, di mana dijelaskan prioritas yang harus diberikan untuk pendidikan anak-anak itu.
Seperti diketahui, Luqmanul Hakim, adalah seorang ahli hikmat zaman purbakala, yang telah berhasil mendidik anak-anaknya sehingga Allah SWT melestarikan hal itu menjadi contoh tauladan.
Dalam Surat Luqman itu antara lain dijabarkan: "Sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman supaya bersyukur kepada Allah. Barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, diwaktu memberikan pelajaran kepadanya: "Hai anakku! Janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah itu adalah satu perbuatan zalim yang besar. Dan Kami perintahkan kepada manusia (supaya berbuat baik) kepada ibu-bapaknya." (QS.Luqman:13-14).
Pada ayat yang lain dalam Surat Luqman itu dikatakan lagi: "Hai anakku! Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan kebaikan dan cegahlah (mereka) mengerjakan yang mungkar, dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri." (QS.Luqman:17-18).
Dari ayat-ayat tersebut dapat difokuskan 6 point tentang pendidikan anak-anak itu, yakni:

1. Pendidikan Iman
Sejak masa kecil, anak-anak haruslah dididik bahwa ia dan umumnya manusia adalah merupakan obyek, yang diciptakan, sedangkan subyeknya, yang menciptakan ialah Allah SWT. Allah menciptakan manusia memberi hidup dan segala keperluan-keperluan mereka, dengan penjelasan tentu saja yang sesuai dengan kemampuan jiwa dan daya tangkap anak-anak bahwa segala sesuatunya harus dibarengi usaha, ikhtiar. Oleh sebab itu, setiap manusia harus berterimakasih kepada Pemberi nikmat itu. Dalam istilah Islam, terima kasih itu disebut syukur. Ucapan syukur yang singkat lengkap ialah: Alhamdulillah, segala puji untuk/milik Allah. Itulah sebabnya sesudah selesai makan, setiap orang harus mengucapkan Alhamdulillah.

2. Pendidikan Tauhid
Sesudah pendidikan iman itu diberikan pula pendidikan Tauhid, yaitu pemahaman bahwa Allah itu Esa, Tunggal, Mandiri, tidak berkehendak kepada bantuan orang lain. Iman dan Tauhid itu merupakan fondasi bagi satu bangunan. Apabila fondasinya kokoh, terbuat dari beton, maka bangunan itu tidak akan rontok atau runtuh, walaupun digoncang gempa atau angin yang kuat.

3. Pendidikan Akhlak
Anak-anak didik supaya berbuat baik kepada ibu bapaknya, sebagai orang yang paling berjasa kepada mereka. Dituliskan pada sambungan ayat yang bersangkutan, bahwa seorang ibu bersusah payah melahirkan seorang anak, membesarkannya, memeliharanya, sedangkan ayahnya mencarikan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan, dan kemudian menyekolahkannya, setelah anak itu mulai besar.

4. Pendidikan Ibadah
Selanjutnya, setiap anak harus dididik supaya melakukan shalat. Tidak menjadi soal, walaupun pada mulanya tidak hanya mengikuti (ikut-ikutan menirukan) ayah ibunya yang sedang sholat, sehingga lama-kelamaan diharapkan menjadi terbiasa serta menjadi kebutuhan.

5. Pendidikan Sosial
Anak-anak harus dididik sejak dini supaya mulai memikirkan keadaan di sekitarnya. Dia dididik untuk membiasakan diri mengajak orang berbuat kebaikan, dan mencegah berbuat kejahatan. Lama-kelamaan anak itu akan merasakan menjadi makhluk sosial, antara yang satu dengan yang lain saling memerlukan, saling menjaga dan saling bantu-membantu.

6. Pendidikan Jihad di Jalan Allah (menanamkan semangat pantang menyerah dalam menegakkan kebenaran dan membela agama Allah dengan harta, ilmu dan segenap tenaga)
Pada ayat tersebut, disebutkan supaya berlaku sabar; sabar dalam melakukan sesuatu pekerjaan, melalui proses yang wajar, jangan lekas-lekas mencari jalan pintas. Yang penting jangan lekas menyerah kalau menghadapi kesulitan. Umpamanya, jika jatuh ketika berlari, harus segera berdiri kembali. Jangan lekas putus asa. Semua itu termasuk dalam pendidikan jihad, untuk meningkatkan daya juang, daya tahan sebagai bekal kelak di kemudian hari agar meneruskan dakwah Islam, menegakkan agama Allah dengan pantang menyerah mengerahkan semua daya upaya, ilmu, tenaga dan harta demi kemuliaan agama Allah dan kemaslahatan hidup seluruh umat manusia. Akhirnya, pada sambungan ayat tersebut, diulang kembali secara rinci tentang pendidikan akhlak, supaya jangan berlaku sombong, congkak, atau berlaku angkuh (over acting).
Selain dalam Surat Luqman itu, masih banyak lagi surat-surat atau ayat-ayat lainnya dalam Al-Quran yang menggariskan tentang soal pendidikan anak-anak itu. Diantaranya Surat Maryam.
Seperti diketahui, dalam permulaan surat Maryam itu dilukiskan jeritan hati nurani Nabi Zakaria yang terus-menerus memohon, doa kepada Rabbul Jalali (Allah) supaya dianugerahi anak yang diembannya. Dalam usia yang sudah lanjut, Nabi Zakaria masih belum mendapat seorang anak kandung, yang disebutkan dalam Al-Quran dengan istilah qurratu a'yunin (cahaya mata). Permohonan Nabi Zakaria itu akhirnya diperkenankan Allah SWT dengan lahirnya putra beliau yang bernama Yahya, yang dalam kedudukannya juga mendapat posisi dan tugas seperti ayahnya, menjadi pembimbing dan pembina umat (Nabi).
Dalam Surat Maryam itu dirumuskan 7 poin yang merupakan persiapan bagi Yahya untuk menghadapi hari depannya. Persiapan itu diterangkan pada ayat: "Ya Yahya! Berpegang teguhlah kepada Kitab Suci. Dan Kami berikan kepadanya hikmat semenjak masa kanak-kanak. Dan dianugerahkan dari sisi Kami (Allah) rasa belas kasihan yang mendalam, suci dari dosa, dan kemudian (dianugerahi) sifat taqwa. Kemudian berbakti kepada ibu-bapak, dan jangan bersikap sombong dan durhaka." (QS.Maryam:13-14).
Analogi dari ayat tersebut kepada setiap anak mukmin, haruslah dibimbing supaya menjadikan Kitab Suci Al-Quran sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan, sebab Al-Quran merupakan panduan yang menunjukkan jalan kebenaran supaya manusia tidak tersesat dalam kehidupan di dunia ini sampai di akhirat kelak.
Dari berbagai Kitab-Kitab Tafsir dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksudkan dengan perkataan hananan min ladunna (anugerah yang mendalam dari sisi Allah) diantaranya ialah watak menghargai orang tua, sayang kepada yang muda dan peka terhadap perjuangan cita-cita rakyat yang diridhai Ilahi. Sedang yang dimaksudkan dengan suci dalam ayat tersebut, tercakup di dalamnya pemurah (charity), suci (purity), adil (justness), jujur (integrity), dan tulus (honesty). Sesudah itu diiringi dengan pendidikan taqwa, yagn merupakan pusat atau sentral dari semua watak dan sikap mental yang utama.

Taqwa sebagai Bekal Kehidupan Akhirat

Diantara sekian banyak panggilan Allah yang paling utama yang harus kita penuhi dan pasti kita alami adalah maut atau kematian. Al-mautu Haqqun! Kematian itu pasti akan terjadi pada setiap diri manusia, suka atau tidak suka, mau tidak mau, takut atau tidak takut, semuanya pasti akan mengalaminya. Undang-undang Allah ini tidak pandang bulu dan suku, tidak melihat martabat dan pangkat, tidak mau tahu menahu jabatan dan kedudukan, tidak membedakan kaya atau miskin, yang awam maupun ilmuwan, semuanya pasti terkena dan menjalaninya. Dan barangkali tidak ada satupun manusia yang mengingkari dan menantangnya, semuanya pasti menerimanya. Dan memang begitulah kenyataannya.
Mengenai hal ini, Allah sWT menegaskan dengan firmanNya dalam Al-Quran: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati." (QS.Ali Imran 3:185)
Dan firman Allah yang lain: "Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapati kamu, walaupun kamu di mahligai-mahligai yang teguh." (QS.An-Nisa 14:78).
Kita sering melupakan maut. Kita melihat jenazah susul-menyusul di hadapan kita tiap hari. Tetapi, kita tidak pernah membayangkan bahwa kita juga akan mati. Kita berdiri dalam shalat jenazah, tetapi pikiran kita berputar mengelilingi dunia. Seorang dari kita mengira, bahwa maut itu pasti mengenai setiap makhluk kecuali Dia (Allah SWT). Sebenarnya manusia mengetahui bahwa dunia ini akan meninggalkannya atau dia yang meninggalkan dunia ini. Betapa pun dia hidup, pasti ia akan mati. Tidakkah umur 60 tahun, 70 tahun ataupun 100 tahun itu kita akan habis dan akan diganti dengan mati? Belumkah kita berkenalan dengan seseorang yang umurnya 100 tahun? Ia toh akhirnya akan mati. Nabi Nuh as, menurut Al-Quran berumur 950 tahun. Di manakah beliau sekarang? Apakah beliau masih hidup terus di dunia? Terhindarkah beliau dari maut?
Bila sudah demikian kenyataannya, mengapakah kita tidak pernah berpikir tentang maut? Dan mengapakah kita tidak bersiap sedia untuk menghadapinya, jika memang sudah pasti akan kita hadapi suatu hari nanti? Yah, mengapa? Seseorang yang akan menghadapi perjalanan jauh, namun tidak diberitahu kapan waktunya harus berangkat, tidakkah ia patut selalu dalam keadaan siap sedia (menyiapkan semua bekal amal kebaikan demi keberlanjutan hidupnya kelak di akhirat)? Begitu datang panggilan tentunya ia sudah siap.
Ingatlah malaikat maut datangnya sewaktu-waktu. Dia tidak akan memberitahu lebih dahulu dan memberikan tambahan waktu, walaupun cuma sebentar.
Masalahnya sekarang, apakah sebenarnya atau hakekat maut itu? Ada apa di balik itu? Bekal utama apa yang mesti kita bawa untuk menghadapinya? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah amat sangat penting. Karena dari sanalah manusia akan menentukan arah dan bagaimana seharusnya ia berbuat di dalam hidupnya kini, agar nantinya ia bisa selamat dan bahagia.
Maut, pada hakekatnya adalah suatu kelahiran baru, suatu pelepasan dari alam yang sempit ke alam yang lebih luas, yaitu dari alam fana ke alam yang lebih panjang masanya, yakni alam akhirat. Dan inilah dibalik maut itu.
Bahwa kelak pada hari Qiyamat, setelah segenap ummat manusia dibangkitkan dari kubur masing-masing, mereka akan dihimpun di suatu tempat yang bernama Mahsyar (tempat perhimpunan). Kemudian, masing-masing akan dihadapkan kepada Mahkamah Allah SWT, yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Mereka akan dimintai pertanggungjawabannya atas kehidupannya di dunia, diperhitungkan amal perbuatannya dan ditimbang bobotnya. Atas dasar inilah dan rahmat Allahlah, kemudian seseorang akan ditentukan kedudukannya. Apakah ia akan menepati tempat yang penuh penderitaan dan siksaan (neraka), sebagai balasan atas kelalaian, kejahatan dan kedurhakaannya kepada Allah SWT. Sebagaimana kelanjutan Firman Allah: "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasai mati, dan tidak akan disempurnakan balasan kamu manusia melainkan pada hari Qiyamat. Lantaran itu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke syurga, maka selamatlah ia, karena kehidupan yang rendah (dunia) ini tidak lain kecuali benda yang menipu." (QS.Ali-Imran 3:185). Kemudian, bekal apa yang mesti kita bawa untuk menghadapi hal itu?
Kita hidup di dunia ini ibarat seorang yang sedang berlayar dengan kapal pesiar, ke luar negeri misalnya. Tentunya, sebelum berangkat kita akan mempersiapkan segala sesuatunya, terutama adalah perbekalan untuk memenuhi kebutuhan kita selama dalam perjalanan itu. Minimal, kita akan membawa uang yang cukup untuk di perjalanan dan selama berada di luar negeri. Akan tetapi, apakah kita akan membelanjakan uang kita hingga ludes hanya untuk menghias kita di atas kapal itu, tidak membawa uang sepeser pun? Jelas, hal itu tidak mungkin dan tidak akan mungkin kita lakukan. Kita pasti akan berpikir bukankah aku tinggal di kamar kabin kapal ini hanya beberapa minggu saja, sedangkan uang ini bisa kupergunakan untuk menyewa rumah di London, karena di sanalah nantinya aku akan berdiam lama, sebelum akhirnya aku akan plesir berbelanja ke Dubai, Uni Emirat Arab?
Begitulah perumpamaan kita hidup di dunia. Dunia ini hanyalah tempat persinggahan kita yang sementara. Sedangkan alam akhirat adalah tempat terakhir yang kita tuju, yakni alam yang abadi dan kekal. Nah, kalau sudah demikian perbekalan apakah yang mesti kita persiapkan? Allah SWT berfirman dalam Al-Quran: "Dan bawalah perbekalan, tetapi sebaik-baik perbekalan adalah taqwa." (QS.Al-Baqarah 2:197).
Taqwa ini amat sangat ditekankan oleh Islam. Sebagaimana Firman Allah dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman: Bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah (tiap-tiap) jiwa memperhatikan apa yang telah disediakan untuk besok, dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan." (QS.Al-Hasyr 59:18).
Kata taqwa berasal dari bahasa Arab: Ittaqa - Yattaqi artinya menjaga, melindungi. Dalam pengertian agama Islam adalah taat-tunduk-patuh-menyerah kepada segenap perintah Allah dan RasulNya serta menjauhi segala laranganNya tanpa syarat, tanpa tawar-menawar. Jadi apapun perintah Allah dan RasulNya, sebagai seorang muslim yang konsekuen, tidak ada alternatif lain, kecuali: "Sami'na wa Ata'naa! (kami dengar dan kami taat) bukan Sami'na wa Ashainaa (kami dengar tapi kami langgar).
Ketaqwaan seseorang tidak bisa dilihat oleh mata dan tidak bisa diukur dari luas tidaknya pengetahuan agama seseorang. Tetapi yang jelas, ketaqwaan bagi seorang mukmin adalah pertanda mantapnya keimanan yang mengejawantah dalam amaliah lahiriyah, baik dalam hubungan dengan Allah maupun hubungannya dengan sesama insan. Mukmin yang taqwa di dalam situasi apapun dan kondisi bagaimanapun, langkahnya akan tetap seimbang dan stabil. Sebagaimana firman Allah: "Maka barang siapa yang bertaqwa dan berbuat baik, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidaklah mereka berduka cita." (QS.Al-A'raf 7:35).

Perkembangan dan Pemeliharaan Iman

Setiap bayi yang lahir ke dunia sudah diberi Allah bibit iman yang disimpan pada suatu tempat yang disebut Qalbun. Untuk pemeliharaan dan perkembangan iman itu pertama kalinya diserahkan kepada orang tuanya, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang artinya sebagai berikut: "Bayi lahir dalam keadaan suci bersih (qalbunnya) hanya karena pendidikan bapak-ibunyalah ia menjadi beragama Yahudi, Nasrani atau Majusi." (Alhadits).
Misalkan bibit iman tersebut kita umpamakan dengan sebuah biji dalam tumbuh-tumbuhan, maka pertumbuhan dan perkembangan bibit iman itu sangat tergantung pada:

a. Tanah, yaitu lingkungan/pergaulan. Manusia selama hidupnya tidak terlepas dari tiga lingkungan/pergaulan, yaitu: rumah tangga, sekolah/tempat kerja dan diluar keduanya. Lingkungan ini sangat besar pengaruhnya dalam pembinaan karakter dan pribadi seseorang, juga dalam pertumbuhan iman. Nabi Muhammad SAW, bersabda "Perhatikan lingkungan tetangga sebelum mendiami rumah." (Alhadits).
- Lingkungan pertama yaitu rumah tangga. Di sini pertama kalinya iman seseorang dikembangkan. Untuk mengembangkan dengan baik, rumah tangga harus bernafaskan agama. Pendidik pertama adalah ibu. Sejak si anak masih di dalam kandungan ibu, seratus persen si bayi dalam pengaruh ibu, hingga dua tahun menyusuinya. Tepat sekali sabda Nabi Muhammad SAW: "Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu." (Alhadits).
- Lingkungan kedua adalah sekolah/tempat kerja. Inipun membantu pertumbuhan iman dalam lingkungan pertama. Lingkungan kedua ini adakalanya akan membantu dan menjadikan pembinaan pada lingkungan pertama tetapi ada kalanya juga akan menghancurkan.
- Lingkungan ketiga adalah lingkungan di luar lingkungan kesatu dan kedua yang menentukan. Meskipun baik pembinaan iman pada lingkungan pertama dan kedua jika tidak waspada dalam lingkungan ketiga ini dapat menghancurkan apa yang selama ini sudah dibina dengan susah payah.

b. Air, sebagaimana halnya suatu tumbuh-tumbuhan tidak mungkin akan tumbuh dengan baik tanpa siraman air. Iman pun demikian. Ia harus disiram pada saat-saat tertentu, siramannya berupa pendidikan dan penerangan agama yang diperintiskan/bersumber pada Al-Quran dan sunnah Nabi. Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Anfal ayat 2: "Sesungguhnya orang mukmin itu bilamana disebut-sebut nama Allah itu akan gemetar hatinya dan bilamana dibacakan ayat-ayatnya bertambah kuat imannya dan kepada Tuhannyalah mereka berserah diri."

c. Sinar matahari, hidayah dari Allah. Meskipun tanahnya subur, airnya terus-menerus mengalir belum tentu bibit iman itu tumbuh dengan baik tanpa adanya sinar matahari, yaitu hidayah dari Allah. Mengingatkan kita peristiwa Abu Thalib (paman Nabi Muhammad SAW) yang sangat berjasa pada Nabi, hidup dalam lingkungan yang serba baik sebab selalu mendampingi Nabi dan sering mendengarkan ayat-ayat Al-Quran yang dibacakan oleh Nabi, bahkan oleh Nabi sering didoakan agar segera menyatakan keimanannya. Akan tetapi karena tidak mendapatkan hidayah dari Allah SWT, matilah ia dalam keadaan kufur. Bahkan Rasulullah mendapatkan peringatan dari Allah: "Sesungguhnya engkau Muhammad tidak dapat memberi petunjuk sekalipun kepada orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang ia kehendaki. Dan ia lebih mengetahui orang-orang yang mendapatkan petunjuk." (Al-Quran surat Al-Qashash ayat 56). Oleh karena itu, setiap muslim diwajibkan memohon hidayah kepada Allah sekurang-kurangnya 17 kali sehari, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Fatihah ayat yang terakhir: "Tunjukilah kami ya Allah kepada jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau beri nikmat atas mereka. Bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan bukan jalannya orang-orang yang sesat.

d. Pupuk, beribadah dan beramal saleh. Demi suburnya bibit iman itu harus dipupuk dengan ibadah, baik ibadah khususiyah terutama shalat, puasa, dzikir, dan membaca Al-Quran, maupun ibadah umumiyah (berbuat jasa kepada masyarakat). Sabda Rasulullah SAW: "Iman itu kadang-kadang bertambah kadang-kadang juga berkurang." (Alhadits).

e. Dipelihara dari hama dan penyakit. Hama dan penyakit di sini yang dimaksud adalah kemaksiatan dan kemungkaran. Setiap amal perbuatan panca indra yang tidak cocok dengan tuntutan agama merupakan dosa. Dosa itu merupakan titik-titik hitam di dalam qalbun (jantung) tempat iman bersemayam. Bilamana qalbun tempat iman tertutup oleh titik-titik hitam, orang itu akan mempunyai tiga sifat, yaitu: shummun, bukmun, dan 'umyun (tuli, bisu, dan buta mata hatinya). Jika titik-titik hitam itu dibiarkan tidak dihapus dengan istighfar dan tobat, ia akan menutupi sinar iman yang ada pada qalbun itu, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Quran Surat Al-Baqarah ayat 7: "Allah menutup atas qalbun mereka dan atas pendengaran mereka, serta atas penglihatan mereka yang ditutup dengan tabir. Dan bagi mereka siksaan yang berat."
Iman itu diumpamakan akar tumbuh-tumbuhan. Karena itu jika akarnya kuat menghujam ke tanah, maka tegaklah batang tumbuh itu dan lebah buahnya, sebab akar berfungsi sebagai penegak batang dan penghisap zat makanan dari dalam tanah yang menyebabkan buahnya menjadi lebat.
Firman Allah dalam surat Ibrahim ayat 24-25 yang artinya: "Tidakkah engkau melihat bagaimana Allah membuat suatu perumpamaan (kalimat thoyyibah) seperti sebuah pohon yang baik, akarnya menghujam ke tanah dan batangnya ke langit. Dan Allah membuat contoh-contoh perumpamaan untuk manusia agar supaya mereka ingat kembali."
Penelaahan dalam uraian ini pun dapatlah kiranya menjadikan penawar serta penyiram rasa taqwa dan keimanan kita untuk kemudian dilimpahkan ilmu serta penghayatan yang sempurna sehingga kita benar-benar menjadi seorang mukmin yang sejati.

Peranan Aqidah dalam Kehidupan Manusia

Sejarah ummat manusia telah membuktikan, dimanapun dan pada saat apa pun manusia berada, mereka senantiasa memiliki keyakinan akan adanya kekuatan yang menguasai diri dan kehidupan ini, kekuatan yang menciptakan alam semesta ini beserta seluruh kehidupannya, keyakinan akan keberadaan Sang Pencipta. Seorang pakar sejarah menyatakan bahwa dalam sejarah ummat manusia kita bisa mendapatkan kota-kota yang tidak memiliki istana, benteng-benteng pertahanan atau pabrik-pabrik, tetapi tidak ada satu kota pun yang tidak mempunyai tempat peribadatan.

Selamat dari Kepribadian Ganda (Split Personality)
Iman kepada Allah menjadikan setiap manusia hanya mempunyai satu tujuan dalam hidupnya, yaitu mendapatkan keridhaan Allah semata, dengan demikian ia terhindar dari pertentangan batin akibat bercabangnya tujuan dalam hidupnya atau terpecahnya perhatian akibat kebingungan dalam menanggapi perintah-perintah dalam hidupnya yang saling bertentangan. Tauhid menanamkan keyakinan dalam diri manusia, bahwa tidak ada yang ditaati selain Allah, dengan kata lain hanya Allah-lah satu-satunya yang wajib ditaati perintahNya dan satu-satunya yang mesti diibadahi, tiada seorang pun yang perintahnya wajib ditaati jika bertentangan dengan perintah Allah, bahkan perintah kedua orang tua sekalipun.
Allah berfirman: "Allah membuat perumpamaan seorang budak yang dimiliki oleh serikat yang saling berselisih dengan seorang budak yang dimiliki oleh seorang majikan, apakah sama diantara keduanya, segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahuinya." (QS.Az-Zumar:29).
Seorang yang menyekutukan Allah tidak akan bisa tenang dalam hidupnya, karena ia harus melaksanakan berbagai perintah dan tugas yang sering kali satu sama lain saling bertentangan dari pihak-pihak yang menjadi atasannya. Hal ini karena meyakini berbagai nilai-nilai yang saling bertentangan dan mengabdi kepada berbagai kepentingan, menyebabkan seseorang berkepribadian ganda dan aneh. Imam al-Banna pernah menyatakan keheranannya pada manusia bertipe ganda semacam ini, orang semacam itu lima menit yang lalu berdialog hangat tentang masalah agama dan nasib ummat Islam bersama seorang ulama, dan lima menit kemudian ia berpidato menyampaikan ide-ide komunisme atau kapitalisme. Sungguh suatu hal yang mengherankan, dan bisa terjadi di jaman modern seperti sekarang. Salah satu bentuk kemunafikan dalam wujud yang nyata.

Bebas dari Belenggu Hawa Nafsu
Ketika iman tertanam dalam diri seorang mukmin, ia akan dapat membebaskan dari penghambaan seorang manusia kepada hawa nafsu yang ada dalam dirinya. Keyakinannya akan adanya adzab Allah mampu mencegahnya untuk melampiaskan hawa nafsunya pada jalan yang haram. Rasa malu yang ditimbulkan dari keimanan akan mendorongnya untuk senantiasa jujur dalam hidupnya, menghindari dusta dan meninggalkan seluruh kemungkaran sekalipun tidak ada orang lain di sekitarnya.
Hawa nafsu hanya dapat melihat kesenangan semata tanpa mampu melihat bahaya yang mengancam sebagai akibatnya. Seorang pezina hanya melihat kenikmatan dari perbuatan zina, tanpa berpikir akibatnya terhadap kesehatan dirinya, keutuhan keluarganya dan etika yang berlaku di tengah masyarakatnya. Seorang koruptor hanya berupaya menumpuk harta sekalipun dari jalan yang haram, tanpa pernah peduli akibatnya terhadap penderitaan rakyat yang diperasnya, tatanan sistem yang bisa amburadul karena korupsi, dan ekonomi biaya tinggi yang mencekik kehidupan masyarakat banyak. Begitu pula dengan para politikus yang hanya mengincar jabatan, hanya akan melahirkan pejabat-pejabat yang memeras rakyat dengan jabatannya, tanpa pernah memikirkan nasib dirinya setelah hilang masa jabatannya dan setelah hilang nyawanya saat dihadapkan kepada Allah. Mereka tidak pernah bisa berpikir panjang, karena hawa nafsu telah menyumbat telinganya hingga tuli, telah menutup matanya hingga buta dan memandulkan akalnya hingga dungu. Iman kepada Allah dapat membebaskan manusia dari belenggu hawa nafsu tersebut. Dan beruntunglah mereka yang membersihakan dirinya dari hawa nafsu.

Penutup
Sesungguhnya kemajuan teknologi dan kian pesatnya peradaban materi manusia, tidaklah mampu melepaskan manusia dari berbagai ketakutan. Ketakutan manusia primitif di masa lalu masih menjadi ketakutan manusia modern saat ini. Bahkan ketakutan itu kian bertambah, pesatnya perkembangan teknologi nuklir maupun rekayasa genetika, misalnya telah menimbulkan kecemasan akan nasib masa depan peradaban ummat manusia di masa depan. Wabah AIDS yang telah menelan jutaan jiwa belum bisa diatasi oleh kemajuan dunia kedokteran, kecanggihan alat komunikasi tidak mampu melenyapkan kekhawatiran manusia terhadap ancaman perang, terorisme, perkembangan industri diikuti oleh pelanggaran hak asasi manusia dan peningkatan kriminalitas. Semua itu menjadi bukti bahwa teknologi bukanlah solusi atas segala permasalahan kehidupan manusia, apalagi menggantikan peranan agama bagi kehidupan manusia.
Manusia secanggih apapun peradabannya, tidaklah dapat menyangkal akan keberadaan Allah, Tuhan yang sesungguhnya. Penyangkalan manusia kepadaNya hanyalah argumentasi lain bagi dirinya dalam mempertuhankan Tuhan selain Allah, tuhan teknologi (seperti yang dianut beberapa artis hollywood dan para ilmuwan Amerika dengan munculnya paham scientologi, agama baru dengan tuhannya adalah ilmu pengetahuan ; naudzubillah min dzalik), tuhan materialisme, dan tuhan-tuhan lainnya. Pada saat manusia kufur kepada Allah dan menolak kehadiran agama (ad-dien) yang dibawa oleh para RasulNya, mereka berkehendak untuk menyusun dan menciptakan agama (sistem kehidupan) yang selaras dengan apa yang mereka pikirkan, dan segala yang mereka inginkan. Sistem kehidupan yang tidak membawa nilai-nilai Ilahi di dalamnya, apalagi mendasarkan seluruh aturan hidupnya.
Aturan di mana kebenaran, keadilan dan kebaikan ditentukan oleh manusia, oleh para pembuat undang-undangnya. Kebenaran yang bisa ditawar-tawar oleh sesama mereka, keadilan yang tidak sama untuk pihak yang berbeda, kebaikan bagi segelintir orang dan penderitaan bagi yang lain. Kehidupan manusia yang tidak mendasarkan dirinya terhadap aturan Ilahi, Muhammad Quthub menyebutkan kehidupan semacam ini sebagai kehidupan jahiliyah, adalah kehidupan di mana nilai dan kehormatan manusia meluncur drastis hingga lebih buruk daripada binatang melata, sekalipun peradaban materinya melesat pesat. Dan manusia-manusia yang hidup dan menghendaki kehidupan semacam itu, aqidah dan agama ini dikesampingkan, adalah orang-orang yang tertipu, sesat dan disesatkan oleh perilakunya sendiri. Wallahu a'lam.

TA'ZIYAH

Seorang mukmin yang melakukan ta'ziyah kepada saudaranya yang ditimpa musibah, maka Allah SWT akan memakaikan pakaian kehormatan untuknya di hari kiamat. (riwayat Ibnu Majah, Baihaqi dari Umar ibn Hazm).

Menunjukkan turut berduka cita.
Apabila seorang muslim/muslimah meninggal dunia, sebaiknyalah orang-orang Islam lainnya datang ke tempat orang yang ditimpa musibah itu untuk turut berdukacita (belasungkawa) kepada keluarganya. Dalam istilah agama Islam, perbuatan itu disebut ta'ziyah, berasal dari kata al-'aza, yang berarti sabar. Ta'ziyah ialah menyabarkan.
Di Jakarta, ta'ziyah itu dinamakan melawat, di Sumatera disebut dengan istilah menjenguk, di Medan disebut tukam, dan di Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut dengan istilah ngelayat.
Dilihat dari sudut pandang agama Islam, ta'ziyah itu hukumnya adalah sunnah.
Adapun pengertian ta'ziyah yang dimaksudkan dalam uraian ini bukanlah sekedar memperlihatkan muka (muncul dan hadir), menyatakan turut berkabung, menyabarkan orang yang ditimpa musibah itu, tapi jauh lebih luas daripada itu, yaitu mencakup kepentingan orang yang meninggal dunia itu, malah juga untuk kepentingan orang yang melakukan ta'ziyah itu sendiri. Pada hakekatnya, sasaran yang kedua dan ketiga ini haruslah lebih diutamakan daripada sasaran yang pertama, lebih-lebih jika ditinjau dari sudut akidah, amaliah, dan muamalah menurut ajaran Islam. Tujuan dan niat melakukan ta'ziyah itu ialah sebagai pemberian penghormatan yang terakhir terhadap yang meninggal itu dan hendaknya memberikan faedah pula untuk jenazah yang bersangkutan.

Shalat jenazah.
Penghormatan terakhir yang memberikan keuntungan kepada jenazah yang bersangkutan ialah apabila orang yang datang ta'ziyah itu turut mendoakan agar dosa orang yang meninggal itu diampuni Allah SWT. Sebab salah satu jembatan yang masih dapat menghubungkan antara orang-orang hidup dengan orang-orang yang sudah mati ialah doa. Doa itu secara khidmat diucapkan tatkala menyembahyangkan jenazah itu, dimana antara lain dimohonkan doa yang artinya sebagai berikut:
"Ya Allah! Ampunilah dia, kasihanilah dia, maafkanlah dia, muliakanlah kedudukannya, lapangkanlah tempat masuknya dalam kubur, mandikanlah ia dengan air, salju dan air sejuk, bersihkanlah dia dari dosa-dosa sebagaimana kain putih dibersihkan (dari) kotoran. Gantilah rumahnya dengan tempat tinggal yang lebih baik daripada rumahnya di dunia, gantilah keluarganya dengan keluarga yang lebih baik daripada keluarganya di dunia, gantilah jodohnya dengan jodoh yang lebih baik daripada jodohnya di dunia, dan peliharalah dia dari cobaan-cobaan dalam kubur dan siksa neraka (riwayat Muslim).
Alangkah lengkap dan indahnya doa tersebut. Turut melakukan shalat jenazah adalah pertolongan yang langsung dapat diberikan untuk orang yang meninggal dunia itu. Itulah cara pemberian penghormatan terakhir yang berfaedah kepada yang meninggal, bukan dengan menaburkan bunga di atas pusaranya.
Dalam suatu hadist diterangkan bahwa apabila banyak orang-orang yang turut menyembahyangkan jenazah, maka hal itu akan meringankan kepada jenazah tersebut. Hadist itu menyatakan:
"Apabila seorang muslim meninggal dunia, kemudian jenazahnya dishalatkan oleh 40 orang yang tidak menyekutukan Allah, maka syafaat (permohonan ampunan) yang mereka mohonkan itu pastilah diterima Allah SWT." (riwayat Ahmad, Muslim dan Abu Daud).
Acapkali terjadi, jenazah seorang yang meninggal dunia harus dishalatkan oleh beberapa orang saja, meskipun yang datang melakukan ta'ziyah berjumlah ratusan orang. Hal yang demikian seringkali terjadi di kota-kota besar dimana minat terhadap nilai-nilai upacara keagamaan semakin menipis. Alasan karena tidak mengetahui tatacara shalat jenazah sama sekali tidak dapat diterima. Sebab kalau dia sudah mengerti shalat wajib yang biasa, maka shalat jenazah lebih mudah dan lebih sederhana daripada itu. Hanya terdiri dari 4x takbir. Pada takbir pertama membaca surat Al-Fatihah, pada takbir kedua membaca shalawat kepada Nabi, takbir ketiga membaca doa. Kalau tidak hafal doa yang agak lengkap, cukup dengan doa yang pendek saja, umpamanya: Allahummaghfirlahu (untuk laki-laki) atau Allahummaghfirlaha (untuk wanita). Pada takbir yang keempat mendoa lagi, kemudian memberi salam.

Wanita dan shalat jenazah.
Melakukan shalat jenazah itu tidaklah hanya fardhu kifayah untuk kaum laki-laki, tapi juga buat kaum wanita. Di zaman Rasulullah, sering kali kaum wanita turut melakukan shalat jenazah. Tatkala Sa'ad bin Abi Waqash meninggal dunia, maka para istri Rasulullah telah memintakan agar jenazahnya ditaruh di mesjid, dan kemudian mereka melakukan shalat jenazah. Istri-istri para sahabat, turut menyembahyangkan jenazah Rasulullah saat beliau wafat. Kaum wanita dapat melakukan shalat jenazah itu dalam kelompok mereka, atau juga mengikut di belakang kaum laki-laki seperti shalat jamaah biasa. Apabila tempatnya sempit, dapat dilakukan shalat jenazah secara berkelompok secara bergiliran. Yang penting, ialah meningkatkan minat supaya merasakan pentingnya turut melakukan shalat jenazah itu, sebab seperti diterangkan diatas, itulah penghormatan atau pertolongan terakhir yang dapat dilakukan terhadap seseorang yang meninggal dunia, yang secara langsung menguntungkan dan meringankan kepada jenazah yang bersangkutan.
Selain dari itu, keuntungan pahala shalat jenazah iu akan dihayati oleh orang yang turut melakukan shalat jenazah tersebut, seperti dijelaskan dalam satu hadist berikut yang artinya:
"Barangsiapa yang turut mengantar jenazah dan menyembahyangkannya, ia mendapat pahala satu qirath. Orang-orang yang turut menghantarkannya sampai selesai dikuburkan, ia mendapat pahala dua qirath. Satu qirath (nilai pahalanya) paling sedikit sebesar gunung Uhud." (Riwayat Jamaah).
Pada hadist tersebut Rasulullah menggunakan kata-kata yang bersifat metaphora (perbandingan), mengumpamakan pahala menyembahyangkan dan mengantar jenazah itu laksana sebesar gunung Uhud, untuk melukiskan tentang keutamaan (fadhilah) hal-hal yang bersangkutpaut dengan ta'ziyah itu.
Kesempatan yang demikian hanyalah terjadi sewaktu-waktu, kadang-kadang sekali dalam tiga bulan atau setengah tahun, sehingga sebaiknya jangan disia-siakan atau dibiarkan lewat begitu saja.

Memupuk solidaritas dan ukhuwah.
Dilihat dari sudut kemasyarakatan (sosiologi), ta'ziyah itu memupuk semangat solidaritas (kesetiakawanan) dan ukhuwah (persaudaraan) yang menjadi fondasi yang penting dalam membangun masyarakat yang harmonis dan marhamah, yang diliputi oleh kecintaan dan kasih sayang.
Apabila seseorang yang ditimpa musibah, umpamanya mendapat kecelakaan, kematian dan lain-lain, kemudian orang banyak berdatangan menunjukkan keprihatinan, maka hal itu bukan saja merupakan obat dan penawar, tapi efek dan pengaruhnya tak ubahnya laksana semen yang dapat merekatkan batu-batu dan pasir-pasir menjadi satu landasan yang kuat. Sudah pasti hal yang demikian meninggalkan kesan yang tidak mudah dilupakan, merapatkan persaudaraan, mengeratkan hubungan. Pada saat orang yang melakukan ta'ziyah itu menerima giliran ditimpa musibah, maka yang bersangkutan akan memerlukan orang lain untuk menghiburnya, membantu persiapan dan penyucian jenazah, dan terlebih lagi memberikan dukungan moral, sehingga dengan demikian terbinalah hubungan persaudaraan dan kemasyarakatan yang laksana matarantai yang saling bertaut.
Disinilah terletak rahasia ajaran Islam dalam bidang kehidupan yang selalu mengandung nilai-nilai ijtima'iyah, kemasyarakatan, dan sosiologis.

Menangis waktu ta'ziyah.
Ketika seorang keluarga yang dekat atau sahabat yang rapat meninggal dunia, biasanya timbullah kesedihan dan dengan tidak terasa airmata bercucuran, menangis terisak-isak. Jika terbatas sekedar menangis saja, hal yang demikian adalah wajar dan merupakan manifestasi dari kesedihan, yang menjadi tabiat manusia. Namun yang dilarang keras oleh Islam adalah tidak boleh meratap, mengeluarkan jeritan-jeritan dan histeria yang berlebihan. Malah menurut suatu hadist, hal yang demikian merupakan satu siksaan bagi jenazah yang sedang terletang itu.
Ketika putra Rasulullah, Ibrahim, meninggal dunia, yang baru berusia kira-kira 17 bulan, maka beliaupun menangis karena begitu sedih. Pada saat itulah keluarga beliau mengatakan:
"Sesungguhnya mata itu berlinang, hati dukacita, tapi kami tidak ucapkan kecuali (hal) yang diridhai oleh Allah. Kami semua berdukacita karena berpisah dengan engkau hai Ibrahim."
Dapatlah disimpulkan, bahwa fungsi mata itu bukan saja untuk melihat sesuatu, tapi juga untuk menangis pada waktunya. Tapi menangis ditimpa musibah, setelah air mata mulai kering, haruslah segera berpegang pada tumpuan:
"Kita semua adalah milik Allah, dan akan kembali kepadaNya." (QS.Albaqarah 156).

ZIARAH KUBUR

Dari Buraidah, Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Sesungguhnya dahulu saya melarang kamu ziarah ke kubur. Kemudian Muhammad telah mendapat izin berziarah ke kubur ibunya. Maka berziarahlah kamu, karena sesungguhnya ziarah itu mengingatkan kepada hari akhirat." (riwayat Muslim, Abu Daud, dan Tirmizi).

Proses hukum dan motivasi ziarah ke kubur.
Pada permulaan pengembangan Islam, Rasulullah melarang ummatnya untuk melakukan ziarah ke kubur. Adapun motivasi larangan itu adalah karena di jaman jahiliyah, kuburan itu menjadi salah satu sumber dan sasaran pembaktian kaum penyembah berhala. Bahkan jauh sebelum itu, di jaman Nabi Nuh a.s., sebagian kaumnya memandang kuburan itu sebagai satu tempat yang suci (kudus). Dengan larangan menziarahi kubur itu pada permulaannya, maka dapatlah dibendung kekhawatiran timbulnya kembali paham syirik, sedangkan iman dan tauhid yang ditanamkan oleh Rasulullah kepada pengikut-pengikutnya baru saja pada taraf permulaan, belum berurat berakar dalam jiwa mereka.
Setelah pembinaan ajaran iman dan tauhid itu semakin kuat, Rasulullah menerima wahyu yang mengizinkan untuk menziarahi kubur ibunya, sehingga beliau menunjukkan dengan perbuatannya sendiri kebolehan ziarah ke kubur itu.
Mengenai kasus Rasulullah menziarahi kubur ibunya, disebutkan dalam satu hadist yang diriwayatkan dari Abu Hurairah, yang artinya sebagai berikut:
"Nabi Muhammad s.a.w. menziarahi kubur ibunya. Beliau menangis, dan menangis pula orang-orang di sekelilingnya. Kemudian, Nabi berkata: Saya meminta izin kepada Tuhanku (Allah) supaya diperkenankan memohonkan doa ampunan untuk ibuku. Permohonanku itu tidak diizinkan. Kemudian aku meminta izin untuk menziarahi kuburnya, dan diizinkan. Berziarahlah kamu, agar kamu teringat kepada kematian." (riwayat Ahmad dan Muslim).
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa ziarah kubur itu dianjurkan, sebab hikmahnya akan mengingatkan dan menyadarkan umat manusia tentang kehidupan hari akhirat yang akan datang dan keharusan melakukan persiapan-persiapan untuk menghadapi saat-saat kepastian yang mesti ditemukan oleh setiap orang yaitu kematian atau ajalnya suatu saat nanti.
Dari proses perkembangan tentang soal ziarah kubur itu, yang pada mulanya dilarang, kemudian diizinkan, dapatlah ditarik satu kesimpulan bahwa hukum Islam senantiasa memperhatikan kondisi ummat dan situasi suatu zaman.
Dalam satu hadist lain yang diriwayatkan oleh Hakim dari Abi Zar, Rasulullah menyatakan:
"Ziarahilah kubur, Anda dengan itu akan teringat ke akhirat. Mandikanlah orang yang mati, karena sesungguhnya hal itu menjadi obat mujarab yang mengandung pengajaran yang mantap. Sembahyangkanlah jenazah, mudah-mudahan hal itu akan menggugah hati Anda, sebab orang yang berdukacita berada di bawah naungan Ilahi dalam menghadapi tiap-tiap kebaikan." (Riwayat Hakim).
Dari berbagai hadist yang menganjurkan dan mendorong melakukan ziarah kubur itu, maka para ulama berpendapat bahwa hukum ziarah kubur itu ialah sunah (sunat). Adapun hikmathnya mengandung dua macam nilai.
Pertama, mengingatkan manusia pada kematian, bahwa pada saat yang tentu menurut ajal yang ditetapkan Tuhan, tiap-tiap orang akan kembali ke hadiratNya.
Kedua, untuk memohonkan doa ampunan (istighfar) kepada Allah SWT supaya dosa orang yang diziarahi kuburnya itu, diampunkan oleh Allah. Jadi ziarah kubur itu tidaklah boleh didasarkan untuk meminta restu, karena ada sesuatu hajat, meminta berkat dan lain-lain sebagainya. Kemudian ditaburkan bunga, dibakar kemenyan dan perbuatan-perbuatan lainnya yang tidak disyariatkan, bahkan merupakan bid'ah yang sesat dan menyesatkan. Tetapi haruslah didasarkan kepada dua motivasi yang diterangkan di atas.
Adalah satu kenyataan, bahwa manusia pada umumnya selalu lupa dan lalai terhadap datangnya kematian. Dengan ziarah ke kubur itu, maka perbuatan itu dengan sendirinya mengingatkan manusia kepada kematian itu.
Sasaran hikmat yang kedua tentang ziarah kubur itu ialah memberikan pertolongan yang dapat dilakukan oleh orang (keluarga yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia, yang memohonkan doa ampunan pada Allah SWT terhadap dosa-dosa mereka. Pertalian kekeluargaan dan persaudaraan (ukhuwah Islamiyah) pada umumnya tidaklah hanya terbatas dalam kehidupan di dunia ini, tapi juga sampai-sampai dalam kehidupan sesudah mati dan di akhirat kelak.

Rasulullah menziarahi kubur para sahabat.

Rasulullah acapkali menziarahi kuburan para sahabat. Diceritakan oleh Ibnu Abbas, bahwa Nabi sering-sering ziarah ke pekuburan di Madinah, dan setiap kali ziarah, beliau mengucapkan yang artinya:
"Keselamatan untuk kamu, hai penghuni-penghuni kubur. Mudah-mudahan Allah SWT mengampuni dosa-dosa kami dan dosa-dosa kamu. Kamu adalah orang-orang yang telah mendahului kami dan kami akan mengikuti jejakmu." (Riwayat Tirmizi).
Dalam suatu hadist yang lain, yang diriwayatkan dari Buraidah, diterangkan ucapan dan doa yang sering dibacakan oleh Rasulullah tatkala ziarah kubur, yang artinya sebagai berikut:
"Keselamatan untuk kamu, hai ahli kubur orang-orang Mukmin dan Muslim. Dengan kehendak Tuhan, kamipun akan menemui kamu. Kamu telah mendahului kami, dan kami akan menyusul. Kami mohonkan kepada Allah keselamatan untuk kami dan kamu." (Riwayat Ahmad dan Muslim).
Menurut keterangan Siti Aisyah, apabila giliran Rasulullah bermalam di rumahnya, maka biasanya di tengah malam beliau pergi menziarahi pemakaman Baqi'. Adapun Baqi' itu adalah satu pemakaman yang letaknya masih dalam kota Madinah, tidak berapa jauh dari Masjid Nabi, dimana dikuburkan sebagian besar para sahabat.
Ziarah kubur itu tidak tentu waktunya, dapat dilakukan pada saat-saat luang atau berbagai kesempatan. Tidak ada keistimewaan pada hari-hari tertentu, seperti menjelang tanggal 1 Ramadhan, 1 Syawal dan lain-lainnya, yang di Indonesia dijadikan orang sebagai satu tradisi, padahal tidak disyariatkan mesti pada hari-hari tersebut.
Biasanya pada hari-hari tersebut, kuburan tak ubahnya seperti "pasar", ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berziarah, walaupun...mungkin sebagian besar daripadanya hanya ziarah sekali setahun. Ziarah hanya sekali setahun tidak banyak dapat menghunjamkan ke dalam hati nurani tentang kesadaran mengingat kematian.
Pada tahun-tahun pertama sesudah Siti Khadijah wafat, Rasulullah hampir satu kali seminggu ziarah ke kuburan sang istri yang beliau cintai itu. Diterangkan oleh Nafi', bahwa dia sendiri lebih dari 100 kali melihat Ibnu Umar ziarah ke kubur Nabi, Abu Bakar dan ayahnya sendiri (Umar bin Khattab).

Apakah kaum wanita boleh ziarah ke kubur?
Para ulama dan Fuqaha' mempunyai dua pendapat. Pertama, yang berpendapat kaum wanita tidak boleh ziarah ke kubur, dan yang kedua, mengatakan boleh.
Yang pertama mendasarkan pendapat mereka kepada satu hadist yang melarang kaum wanita turut mengiringkan jenazah ke pekuburan, dengan berbagai pertimbangan/alasan seperti bahwa umumnya kaum wanita adalah mudah terhanyut emosi dan perasaan iba, sedih, sehingga dikhawatirkan jiwa mereka tidak kuat melihat kuburan yang terhampar dan perasaan duka cita yang mendalam bisa timbul kembali dan menimbulkan histeria yang berlebihan. Sementara ratapan atau tangisan dan jeritan yang berlebihan justru akan menyengsarakan arwah almarhum yang berada di alam kubur.
Sementara para ulama yang memperbolehkan kaum wanita untuk berziarah didasarkan atas pengertian kepada hadist Nabi yang menganjurkan untuk berziarah, bahwa ziarah itu bersifat umum, boleh dilakukan oleh kaum laki-laki maupun perempuan, sementara memang banyak hadist-hadist lainnya yang menguatkan pendapat bahwa kaum wanita boleh berziarah ke pekuburan. Beberapa di antara hadist tersebut menyatakan:
"Dari Aisyah, dia berkata:
Apakah yang harus aku ucapkan jika aku ziarah, ya Rasulullah? Nabi berkata: Katakanlah: Keselamatan untuk kamu hai ahli kubur orang-orang yang Mukmin." (Riwayat Muslim).
Nabi memberikan jawaban yang demikian adalah satu pertanda bahwa kaum wanita dibolehkan ziarah kubur. Kalau tidak, tentu Nabi akan melarang Siti Aisyah.
Diriwayatkan lagi dari Ibnu Abi Mulaikah, bahwa pada suatu hari dia bertemu dengan Siti Aisyah, tatkala Ummul Mukminin itu kembali dari pekuburan. Mulaikah menanyakan:
"Dari manakah Anda datang?"
"Dari kubur saudara saya, Abdur Rahman."
"Apakah Rasulullah tidak melarang wanita ziarah ke kuburan?" tanya Mulaikah.
Akhirnya, dijawab oleh Aisyah:
"Memang betul. Rasulullah (mula-mula) melarang ziarah ke kubur, tapi kemudian disuruhnya melakukan ziarah itu." (Riwayat Hakim dan Baihaqi).
Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa pendapat yang memperbolehkan kaum wanita melakukan ziarah kubur, tidak berbeda seperti laki-laki adalah lebih kuat dan dapat dijadikan pegangan dalam beramal. Sebagai penutup, kita kutip satu hadist yang mengatakan:
"Aku tinggalkan kepada kamu dua pengajar. Yang pertama yang bisu; yang kedua yang berbicara. Adapun yang bisu ialah Al-Maut, dan yang berbicara ialah Al-Quran."

WASIAT

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya secara ma'ruf. (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (Al-Baqarah II: 180).

Arti dan pengertian wasiat.
Perkataan wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengartiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang uang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.
Berdasarkan pengertian umum dari ayat Al-Quran - seperti yang dikutib di atas - seorang muslim yang sudah merasa ada firasat akan meninggal dunia, diwajibkan membuat wasiat berupa pemberian (hibah) dari hartanya untuk ibu-bapak dan kaum kerabatnya, apbaila ia meninggalkan harta yang banyak. Timbul pertanyaan: Mengapa pada ayat tersebut dikhususkan wasiat tentang pemberian harta itu kepada ibu-bapak dan kaum kerabat (saudara dekat)? Bukankah ibu-bapak itu termasuk ahli waris dari seorang anak yang meninggal, yang sudah ada hak-hak dan bagiannya menurut hukum faraid, pembagian harta pusaka?
Dalam hubungan ini perlu diuraikan lebih dahulu sejarah dan latar belakang turunnya ayat tersebut.
Di jaman jahiliyah, kebanyakan bangsa Arab ketika sudah dekat ajalnya, mewasiatkan supaya memberikan hartabendanya kepada orang-orang yang jauh, yang tidak mempunyai hubungan darah dan keluarga dengannya. Ibu-bapaknya sendiri, anaknya dan kaum kerabat dekatnya tidak disebut-sebut dalam wasiat itu. Adapun motifnya karena menurut anggapan umum pada waktu itu perbuatan yang demikian itu adalah satu kebanggaan, yang menunjukkan tentang sifat kemurahan hati.
Untuk menertibkan sikap yang pincang dan berat sebelah itu, maka pada tahap pertama turunlah ayat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180), yang menegaskan supaya berwasiat mengenai soal harta benda yang ditinggalkan itu untuk ibu-bapak sendiri dan keluarga yang dekat-dekat. Sesudah itu, sebagai tahap kedua, kemudian turunlah ayat yang terkenal dengan sebutan ayatul-mawarist (permulaan surat An-Nisa'), yang mengatur pembagian harta warisan secara terperinci, yang mengandung nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.
Dengan turunnya ayat yang mengatur warisan itu, maka sebagian ahli-ahli tafsir berpendapat bahwa ayat tentang wasiat tersebut (Al-Baqarah, ayat 180) menjadi mansukh, artinya tidak diberlakukan lagi. Akan tetapi sebagian ulama-ulama dan ahli tafsir yang lain menyatakan, bahwa ayat mengenai soal wasiat itu masih tetap mempunyai kekuatan hukum. Apalagi sewaktu-waktu masih mungkin ditemukan satu kasus yang pemecahannya dapat menggunakan ayat tersebut. Misalnya, kalau yang meninggal dunia itu seorang anak yang sudah masuk Islam, sedang ibu-bapaknya masih memeluk agama lain, maka orang tuanya itu tidak berhak mendapat pembagian harta warisan bila dipandang dari sudut hukum Islam, karena berlainan agama. Dalam kasus yang demikian itu, si anak dapat meninggalkan pesan supaya memberikan sebagian harta benda yang ditinggalkannya untuk orang tuanya itu, asalkan tidak melampaui ketentuan-ketentuan oleh hukum warisan. Dengan demikian, dilihat dari sudut ajaran Islam, anak tersebut, dapat menjalankan petunjuk Ilahi, yang memerintahkan:
"Dan Kami mewajibkan manusia (berbuat) kebaikan kepada kedua orang tuanya (ibu-bapaknya)." (QS. Al-Ankabut XXIX: 8).

Syarat-syarat wasiat.
Kecuali dalam Al-Quran, pun Hadist Nabi banyak yang menggugah dan mendorong supaya melakukan wasiat itu. Diantaranya:
"Barang siapa mati dengan melakukan wasiat, maka matinya adalah pada jalan Ilahi dan menurut Sunnah, mati dalam keadaan bertakwa dan (mengucapkan) Syahadah, mati dengan mendapat ampunan." (riwayat Ibn Majah).

Adapun syarat wasiat itu ialah:
1. Meninggalkan harta yang banyak.
2. Tidak boleh melebihi 1/3 dari jumlah seluruh harta.
Syarat yang pertama dan utama tentang kewajiban melakukan wasiat itu ialah apabila seseorang meninggalkan harta yang banyak. Ukuran mengenai harta yang banyak itu adalah relatif, sehingga berbeda-beda pendapat para ulama dalam menetapkan standar harta yang banyak itu.
Syekh Muhammad Abduh menyatakan, bahwa dalam menetapkan ukuran itu sangat bergantung kepada keadaan dan itikad baik seseorang, dengan memperhatikan keadaan zaman, kepribadian dan lingkungan rumah tangga. Di negeri yang gersang dan miskin, kalau yang mati meninggalkan harta 70 dinar misalnya, itu sudah termasuk dalam bilangan meninggalkan "harta yang banyak". Tetapi, bagi seorang Raja atau Wazir tentu lain pula ukuran yang dipakai menjadi tolok ukur. (Tafsir Al-Manar).
Dalam hubungan ini, sebagai pedoman dapat digunakan keterangan dari dua buah hadist. Pertama, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Sitti Aisyah (isteri Nabi), yang menceritakan seorang laki-laki mendatanginya dan menyatakan hasratnya untuk melakukan wasiat. Terjadilah dialog antara Aisyah dengan laki-laki tersebut, sebagai berikut:
"Berapa jumlah hartamu?"
"Tiga ribu dirham" - sahut laki-laki itu.
"Berapa banyak anakmu?"
"Empat orang!"
Aisyah kemudian membaca kalam Ilahi: ".....jika kamu meninggalkan harta yang banyak." Dia berkata seterusnya: "Harta itu (3000 dirham) hanya sedikit. Tinggalkanlah untuk anakmu, itu lebih baik.

Hadist yang kedua, yang diriwayatkan oleh Baihaqi, menyatakan:
"Ali bin Abi Thalib mendatangi seorang yang pernah mengasuhnya yang sudah dekat mau mati; dia mempunyai uang 600 - 700 dirham. Laki-laki itu bertanya: Haruskan aku berwasiat? Ali menjawab: tidak perlu, karena Allah SWT hanya bersabda "kalau meninggalkan harta yang banyak." Engkau tidak memiliki harta yang banyak; tinggalkanlah harta tersebut untuk ahli warismu."

Dari kedua hadist itu dapat disimpulkan, bahwa ukuran tentang "meninggalkan harta yang banyak" itu haruslah memperhitungkan kepentingan ahli waris yang ditinggalkan, jangan membuat mereka itu kehilangan atau kekurangan hak menerima bagian harta pusaka.

Syarat yang kedua dalam melakukan wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 dari harta yang ditinggalkan. Hal itu dijelaskan dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Sa'ad bin Abi Waqash.
Pada suatu ketika, tatkala Sa'ad bin Abi Waqash sendiri merasa bahwa ajalnya sudah dekat, ia menemui Rasulullah dan bertanya:
"Ya, Rasulullah! Apakah boleh aku mewasiatkan seluruh hartaku?"
"Jangan!" - sahut Rasulullah.
"Kalau separo, bagaimana?"
"Jangan!"
"Jika sepertiga?"
"Masih banyak. Jika engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan miskin, mereka hidup meminta-minta kepada manusia."

Dari hadist ini, maka Jumhur Ulama menarik kesimpulan, bahwa tidak dibolehkan membuat wasiat lebih daripada 1/3 jumlah harta benda.
Di sinilah terletak nilai-nilai keadilan ajaran Islam hyang mempertimbangkan jangan sampai mengurangi hak-hak ahli waris menerima bagian mereka masing-masing, dan dengan sendirinya merugikan mereka.

Motif dan hikmah wasiat.
Motif dan hikmah melakukan wasiat itu bagi orang yang banyak mempunyai harta kekayaan ialah sebagai tambahan amal yang masih dapat dilakukan seseorang ketika ajalnya sudah hampir dan dekat. Wasiat itu barulah berlaku apabila orang yang bersangkutan sudah meninggal. Pada hakekatnya, wasiat itu adalah semacam hibah (pemberian) juga. Perbedaan antara hibah dengan wasiat ialah, bahwa hibah itu dilakukan (diberikan) sendiri oleh orang yang bersangkutan ketika dia masih hidup, sedang wasiat, realisasinya, ialah setelah yang berwasiat itu meninggal dunia.
Rasulullah sendiri tidak melakukan wasiat tatkala Beliau akan meninggal dunia, sebab memang beliau tidak meninggalkan harta yang banyak. Akan tetapi, para Khalifah dan sahabat-sahabat banyak yang melakukan wasiat itu. Diantaranya Khalifah Abu Bakar Siddik yang mewasiatkan 1/5 dari harta bendanya; Umar bin Khattab mewasiatkan 1/4 dari kekayaannya. (Tafsir Qurthubi).
Setiap wasiat haruslah dijalankan oleh ahli waris yang tinggal, selama wasiat itu masih dalam batas-batas ketentuan ajaran dan hukum Islam. Orang yang tidak menjalankannya akan memikul sendiri dosanya, seperti yang diperingatkan dalam Al-Quran:
"Barangsiapa yang mengubah wasiat (mengutak-atik wasiat), setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya." (QS. Al-Baqarah II: 181).

Adapun apabila sesuatu wasiat bertentangan dengan hukum dan ajaran Islam, tentu saja tidak boleh dilaksanakan, malah wajib ditinggalkan. Selain daripada wasiat harta di zaman "sekularisme" ini adapula orang yang mewasiatkan kalau dia mati, supaya jenazahnya dibakar, jangan dikuburkan walaupun waktu hidupnya dia mengaku sebagai seorang Islam. Wasiat yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan, karena bila dilaksanakan, maka orang yang menjalankannya akan memikul dosa.
Uraian ini adalah untuk menggugah hartawan Islam atau orang-orang yang merasa mempunyai harta yang banyak agar melakukan wasiat pada saat-saat menjelang kematiannya, sebagai tambahan amal ibadahnya pada detik-detik yang terakhir dari kehidupannya. Semoga kita semua beroleh hikmah setelah membaca uraian ini.

Manusia dan Kebenaran

Dan katakanlah: "Yang benar telah datang dan yang bathil telah lenyap. Sesungguhnya yang bathil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap." (QS. Al-Isra XVII: 81).

Orang sering kali berbicara tentang Al-Haq atau Kebenaran, dan merangsang manusia supaya hidup di dunia ini dengan penuh Kebenaran. Orang Jawa mengatakan supaya hidup bener.
Apakah sesungguhnya Kebenaran itu? Maka macam-macamlah maknanya sesuai dengan penggunaannya dalam ilmu filsafat, etika (akhlak), hukum (juriprudensi), dan lain sebagainya. Tetapi kitab Suci Al-Quran mempergunakan perkataan Al-Haq itu sebagai lawan kata dari Al-Bathil (kebatilan) dan adh-dhalal (kesesatan).
"Maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan, maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan (dari kebenaran itu)?" (QS.Yunus X: 32).
Al-Haq atau Kebenaran sebagai disebutkan Al-Quran itulah yang seharusnya kita ketahui dan pahamkan benar-benar. Kebenaran seperti itulah yang harus menjadi idam-idaman setiap dan seluruh manusia dan berusaha keras menggolongkan diri masing-masing ke dalamnya, walaupun tidak termasuk ke dalam golongan Kebenaran itu dan masih dalam golongan lawannya, yaitu Al-bathil. Malah walau sebenarnya dan pada hakikatnya ia jagoan golongan bathil sekalipun!
Dalam hal ini selalu sajalah terdapat komplikasi karena pada umumnya seluruh para ahlul bathil itu mengira dan punya pretensi, bahwa merekalah sebenarnya yang berjalan di atas garis Kebenaran. Pretensi ini untuk sebagiannya adalah karena kebodohan, kejahilan dan ketidaksadaran mereka, dan sebagian lainnya karena sifat obstinat (keras kepala) mereka dan karenanya menentang dan menantang Kebenaran asal menentang dan menantang belaka.
"Dan bila dikatakan kepada mereka:"Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi," mereka menjawab: "Sesungguhnya kamilah orang-orang yang mengadakan perbaikan (pembangunan)."(QS. Al-Baqarah II: 11)."

Maka apakah Al-Haq (Kebenaran) itu?
Al-Haq (Kebenaran) adalah sesuatu yang tetap (permanen) dan baka (everlasting), sedangkan al-bathil adalah sesuatu yang relatif tidak tahan lama, berlalu dan lenyap. Apa yang keadaan tabiatnya adalah tetap dan bertahan serta baka, itu adalah Haqqun, dan apa saja yang keadaan sifatnya adalah berlalu dan melenyap, itu adalah bathilun.
Jika kita melihat dan memperhatikan segala kejadian dan peristiwa di dunia ini, malah dalam alam sejauh kita telah dapat menjangkaunya, maka sekali-kali kita tidak melihat seluruh wujud itu sebagai sesuatu yang menunjukkan sifat-sifat yang tetap dan baka dzatnya, terkecuali Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Segala siapa saja dan apa saja selain DIA, wujudnya itu bukanlah karena dzatnya, dan keterusannya bukan pula karena dirinya sendiri, melainkan segala wujud itu adalah karena disebabkan oleh yang lain daripadanya. Segala maujudat itu adanya adalah setelah tadinya tidak ada, dan sekarang ada untuk nanti sampai pada ajalnya dan lenyaplah ia. Maka habislah riwayatnya dan tutuplah sejarahnya! Maka hakikat terang benderang yang disaksikan fitrah. Fitrah dan akal-akal para manusia ialah: SESUNGGUHNYA ALLAH SAJALAH YANG HAQ, SELAIN DIA SEMUANYA BATHIL.
Dan tentang ini Al-Quranulkarim, Kitabullah yang haq, antara lain-lain telah mengatakan:
"Maka Dzat yang demikian itu itulah ALLAH Tuhan kamu yang sebenar-benarnya. Maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan belaka. Maka bagaimanakah kamu dapat dipalingkan dari Kebenaran itu?" (QS. Yunus X: 32).
"Yang demikian itu, itu adalah karena sesungguhnya ALLAH, Dialah Tuhan yang Hak dan sesungguhnya apa saja yang mereka serukan selain ALLAH, itulah yang bathil. Dan sesungguhnya ALLAH Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar."
Maka barang siapa sesat dari hakikat ini dalam hidupnya sekarang (tidak mengetahui hakikat ini), pasti akan diketahuinya besok di kala tabir dari penglihatannya akan dibuka dan ia akan melihat hakikat-hakikat seadanya dengan seterang-terangnya.
"Di hari itu ALLAH akan memberi mereka balasan yang setimpal sebagaimana mestinya dan akan tahulah mereka, bahwa ALLAH, Dia adalah kebenaran yang Nyata (Al-Haqqul Mubin)." (QS. An-Nur XXIV: 25).
Dan memang Allah adalah Kebenaran yang Nyata, Allah adalah The Manifest Truth, The Real Reality.
Maka dalam rangka ketentuan hukum ini kesimpulannya ialah seperti dikatakan dalam Al-Quranulkarim:
"Janganlah kamu sembah disamping menyembah ALLAH, tuhan apapun yang lain. Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) melainkan DIA. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, terkecuali wajahNya. BagiNyalah segala penetapan dan kepadaNyalah kamu dikembalikan." (QS. Al-Qashash XXVIII: 88).
Maka sudah sewajarnyalah apabila kita sebagai manusia, dan terutama kita sebagai muslimin dan muslimat, kembali sadar, bahwa sesungguhnya ALLAH Tuhan kita itu Dialah Kebenaran Mutlak dan karenanya segala yang datang dari Dia, itulah yang Haq, itulah yang benar. Apabila Allah sendiri telah mengatakan tentang diriNya, bahwa "bagiNyalah segala penetapan", sehingga mengenai hidup kita di dunia ini dari Dia jugalah kita harus mengetahui bagaimana sebenarnya kita memandang hidup ini, buat apa kita hidup di dunia sebenarnya, dan apa tujuan hidup manusia sebenarnya.
Ini haruslah kita pertanyakan karena dalam masyarakat manusia tidak sedikit pula terdapat golongan-golongan manusia yang selalu saja mengemukakan dan mengibaratkan (malah dengan seenaknya sendiri menetapkan), bahwa perkataan-perkataan mereka, pikiran-pikiran mereka, paham-paham mereka dan macam-macam lagi; itulah yang benar (haqqun), dan yang lainnya adalah salah (bathilun).
Maka menurut ajaran Islam ialah, bahwa sesuatu yang terkena sifat benar dan karenanya disebut kebenaran (Al-Haq) adalah:
a. menurut kadar hubungannya dengan Kebenaran Mutlak, yaitu Allah SWT, dan
b. selalu dalam pertalian dengan Allah serta keridhaan dan persetujuanNya.
Sedang sesuatu yang terkena sifat tidak benar dan karenanya disebut al-bathil adalah
a. menurut kadar jauhnya dari Allah, dan
b. tiada hubungan apapun dengan Allah, dan
c. terjauhnya ia dari keridhaan Allah.
Maka apa saja yang asal-usulnya dari pihak Allah, itu adalah haqqun (benar), dan apa saja yang asal-usulnya dari selain Allah, itu adalah bathilun (bukan kebenaran). Kalau kita sudah mengetahui, bahwa Allah adalah Yang Mutlak Benar, maka sadarilah bahwa perkataanNya adalah benar dan perbuatanNya adalah benar. Allah Yang Maha Tinggi itu tidaklah berkata atau mengatakan yang bathil-bathil dan tidak pula berbuat yang bathil-bathil.
Dan karena itulah makanya:
"Orang-orang yang berakal, yang selalu mengingat-ingat ALLAH sambil berdiri dan sambil duduk dan dalam keadaan berbaring dan mereka selalu pula memikirkan tentang penciptaan Alam Semesta ini, telah berkata: "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau ciptakan segala ini dengan sia-sia. Mahasuci Engkau!" (QS. Ali Imran III: 191).
Dengan ayat ini Islam sekaligus telah menolak secara jelas dan tegas sekali keingkaran segolongan manusia yang dengan bangga menduga dan mengira, bahwa:
a. segala penciptaan itu tidaklah ada hikmahnya sama sekali, dan
b. hidup ini tidaklah ada tujuan apa-apa selain hidup untuk hidup.
Maka dalam hal ini ingatlah akan peringatan Kitab Suci Al-Quran, yang mengatakan: "Maka apakah kamu kira bahwa sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu itu secara main-main belaka, dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maha Tinggi Allah Raya yang Sebenarnya."
Maka jika manusia sebagai individu, golongan atau masyarakat hendak hidup benar, seharusnyalah menuruti segala Kebenaran yang datang dari ALLAH, Kebenaran Mutlak itu, dan menjadikan Kalamullah itu menjadi petunjuk satu-satunya baginya dalam hasratnya hendak mengetahui bagaimana sebenarnya ia harus memandang hidup ini, buat apa ia hidup di dunia ini sebenarnya, dan apa Tujuan Hidup manusia sebenarnya.
Hanya dengan demikianlah makhluk manusia itu, baik sebagai perorangan, maupun sebagai golongan dan masyarakat, dapat hidup dengan benar!
Jika tidak demikian, maka manusia golongan atau masyarakat itu akan semakin terjerumuslah ke dalam kebathilan dan ini adalah pertanda kehancuran bagi manusia golongan atau masyarakat itu. Dalam hal ini sebaiknya, diingat-ingatlah selalu Wahyu Ilahi yang tercantum pada permulaan tulisan esai ini.

JADILAH SEORANG YANG PEMURAH

"Orang-orang yang menginfakkan harta-harta mereka di waktu malam dan di waktu siang, dengan diam-diam dan dengan terang-terangan, maka bagi mereka tersedia ganjarannya di sisi Tuhan mereka dan tiada kecemasan atas mereka dan tiada mereka akan bersedih hati." (QS. Al-Baqarah II: 274).

Islam adalah suatu idea dari satu sistem kehidupan, suatu way of life. Seorang muslim, tahu dan percaya serta yakin benar, sesungguhnya hanya dengan sistem kehidupan yang dirumuskan Islam itulah saja, kehidupan manusia ini baru bisa dipulihkan kepada fitrahnya, sesuai dengan rencana Allah semula sebagai Pencipta manusia, sehingga kehidupan tersebut selamat aman dan damai dalam naungan ampunan Ilahi.
Kehidupan yang selamat aman dan damai, itulah yang dimaksud dengan "BALDATUN THAYYIBAH" yang harus dipayungi dan diteduhi oleh maghfirah Allah, Tuhan Semesta Alam. Allah memang Rabbun Ghafuur, Tuhan yang Pengampun. Tapi justru, Ia pasti tak akan rela menaungi sebuah kehidupan bagaimanapun thayyibahnya, manakala di segala penjurunya penuh bergelimang dosa dan maksiat yang menyebabkan maghfirahNya lari menjauh.
Syekh Islam Ibnu Taimiyah pernah memfatwakan:
"Allah akan menegakkan sebuah negara yang adil, kendati pun negara itu kafir. Dan Ia tak akan menegakkan negara yang zalim, kendatipun negara itu adil."
Hal ini telah menguatkan penafsiran Rabbun Ghaffuur terhadap baldatun thayyibatun di atas.
Menegakkan dan membangun satu baldatun thayyibatun atau daulatan adilatan di muka bumi, di samping tenaga moral dan spiritual yang konkrit, ia pun amat memerlukan tenaga benda (material) berupa uang dan harta.
Pertama kemakmuran kehidupan itu tak akan menjelma dengan sendirinya, idea kemakmuran hidup yang thayyibah dan adil itu akan tinggal menjadi idea semata dalam hati seorang mukmin, tak akan menjadi kenyataan, meskipun iman itu senantiasa mendesak untuk melaksanakan alkhair, ihsan dan amal saleh.

Infaq dalam Islam.
Ayat 274 surat Baqarah yang menjadi motto tulisan ini, sudah cukup membayangkan tugas infaq itu dan bagaimana seorang muslim yang berpunya harus melaksanakannya, dengan suka-rela dan ikhlas. Menurut keterangan ahli tafsir, ayat tersebut diturunkan sehubungan dengan tindakan Abu Bakar Siddiq menginfakkan uangnya sebanyak 40.000 dirham. Karena keimanannya yang mendalam dan kesadaran hatinya akan kewajiban dan kepentingan berinfaq di masa pembangunan Islam pertama itu, ia telah menginfaqkan dengan empat cara: Sepuluh ribu di waktu malam, sepuluh ribu di waktu siang, sepuluh ribu di waktu sembunyi, tak ada orang yang tahu, dan sepuluh ribu lagi dengan terang-terangan, diketahui dan dipersaksikan orang lain. Atas tindakan Abu Bakar yang begitu pemurah, turunlah ayat 274 Surat Al-Baqarah tersebut, demi untuk menjadi teladan, bahwa demikian hendaknya seorang muslim yang berpunya harus berbuat.
Kisah tindakan Abu Bakar yang mendapat sambutan wahyu itu diketahui oleh Sayyidina Ali, suami Fatimah, yang amat miskin tak pernah berpunya itu, yang tak pernah memegang uang agak banyak sepanjang hidupnya. Tapi besar sekali hasratnya hendak berbuat pula seperti Abu Bakar.
Maka pada suatu ketika, ia beroleh uang sebanyak 4 dirham, mungkin sangat dibutuhkan bagi keperluan rumah tangganya yang selalu kekurangan itu. Tapi karena demikian besar hasratnya hendak berinfaq, apalagi dikenal dalam riwayat hidup Ali r.a. bahwa semangatnya tinggi untuk memberi, bersedekah, dan menolong orang, kendati pun ia miskin sekali. Ia amat suka berinfaq membantu orang miskin dan anak yatim serta menemui orang di rumahnya. Tak ingat ia akan kemiskinannya. Maka uang empat dirham yang didapatnya itu diinfaqkannya: sedirham di waktu malam, sedirham di waktu siang, sedirham di waktu sembunyi dan sedirham lagi secara terang-terangan.
Sesudah hasratnya itu kesampaian, maka legalah hatinya. Bagaimanapun, ia telah memenuhi ayat itu, meskipun infaqnya tidak sebanyak infaq Abu Bakar.
Infaq di dalam Islam dipandang sebagai kewajiban yang terpenting sebab dengan infaqlah dapat membangun amal-amal, alkhair, dan dengan infaq juga dapat ditegakkan apa yang disebut dengan keadilan sosial dalam lingkup ummat Islam. Dan kewajiban infaq ini terutama dihadapkan kepada para muslim yang berpunya. Tapi juga kepada para muslim yang miskin dan tidak berpunya, yang pemurah hati. Terhadap muslim yang tergolong miskin namun mempunyai jiwa murah hati, Allah menaruh perhatian dan melebihkan kasihNya, seperti disebut dalam salah satu Hadist Qudsy berikut ini yang artinya:
"Aku sayang kepada para orang-orang pemurah, tapi kasihKu lebih kepada si faqir yang pemurah."
Infaq suka dan rela memberi, membantu dan menolong adalah suatu fitrah manusia, bila ia tak dikalahkan oleh semangat bakhil. Memberi adalah satu kesenangan yang nikmat bagi setiap jiwa .
Kalau Anda pernah memberi dan menolong orang yang memerlukannya, tentu Anda dapat merasakan kesenangan dan nikmatnya dalam jiwa dan hati. Dan alangkah besar ganjarannya di sisi Allah, bila dilakukan dengan ikhlas dan tidak riya'. Sebab itu Islam mewajibkan infaq, dengan mendidik dan menyirami rasa kedermawanan dan kepemurahan yang ada dalam diri manusia yang merasa senang dan nikmat memberi itu.
Dan kalau rasa kedermawanan dan kepemurahan itu telah tumbuh subur dalam jiwa ummat Islam, Insya Allah mudahlah membangun amal-amal besar dalam Islam sehingga meratalah keadilan sosial di kalangan ummat yang akan menghilangkan kedengkian, segala sumber tindak kejahatan yang asalnya dari kemelaratan atau kefakiran yang teramat sangat. Rasulullah berkata:
"Apabila penguasa-penguasa kamu orang-orang pilihan dan para hartawan kamu orang-orang pemurah dan dalam urusan-urusan kamu selalu bermusyawarah, maka muka bumi lebih baik bagi kamu daripada perutnya." (riwayat Ibnu Majah).
Itulah pula sebabnya dalam syarat Islam diatur peraturan zakat, suatu cara memberi yang ditentukan waktu dan banyaknya, zakat harta, perniagaan, pertanian, dan peternakan, juga zakat fitrah yang kita kenal pembayarannya menjelang hari raya Idul Fitri dan hari raya Idul Qurban (Idul Adha).
Selain dari itu ada pula cara memberi yang tak memperhitungkan waktu dan banyaknya, bahkan terkadang amat sering dilaksanakan dan terkadang lebih banyak jumlahnya, yang dinamakan shadaqoh. Semua cara memberi ini tercakup kesemuanya secara umum dalam apa yang kita kenal dengan sebutan infaq, shadaqoh yang tak berjangka waktu dan jumlah itu, sebuah pelengkap terhadap apa yang kita kenal sebagai zakat.
Salah satu dari empat soal yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah - Tuhan Maha Pemurah, kepada para hambaNya nanti ialah:
"dan dari hartanya dari mana ia diusahakannya dan pada apa yang diinfaqkannya."
Pada suatu hari datang seorang kepada Nabi Muhammad SAW dan bertanya:
"Sedekah macam manakah yang lebih besar pahalanya, Ya Rasulullah?"
Nabi menjawab: "Bahwa bersedekahlah engkau selagi engkau sehat dan merasa kikir, takut miskin dan ingin hendak kaya, serta engkau tidak mengundurkan waktunya hingga nafasmu sudah di kerongkongan dan baru engkau berpesan sekian untuk si fulan, sekian untuk si fulan, sedang si fulan itu tak memerlukannya lagi." (riwayat Bukhari).
Rasulullah berkata:
"Budi baik akan menjaga pertentangan yang buruk, sedekah dengan sembunyi-sembunyi akan memadamkan murka Tuhan dan hubungan silaturahmi akan menambah umur." (riwayat Thabrani).
Kemudian Nabi berkata pula:
"Aku bersumpah dengan tiga perkara: Tiadalah akan menjadi kurang harta seorang hamba karena bersedekah. Tiadalah dizalimi seorang hamba dengan satu kezaliman, tapi ia sabar menerimanya, maka Allah akan menambah kemuliannya dengan sikapnya itu. Dan tiadalah seorang hamba membuka pintu untuk orang yang meminta kepadanya, kecuali Allah akan membuka pintu baginya untuk dapat keluar dari kemiskinan." (riwayat Ibnu Majah).
Pada kesempatan lain, Nabi Muhammad SAW pernah berkata:
"Bentengilah harta kamu dengan zakat, obatilah si sakit kamu dengan sedekah dan hadapilah gelombang cobaan dan derita dengan doa tadharru' segala kerendahan hati." (riwayat Abu Daud).
Akhirnya marilah kita akhirkan tulisan ini dengan hadist Nabi SAW:
"Sesungguhnya bagi Allah ada beberapa kaum yang Ia istimewakan dengan nikmat yang banyak, demi untuk kemanfaatan para hamba, nikmat yang banyak itu akan Allah kekalkan kepada mereka, selama mereka menunaikan akan tugas itu. Tapi apabila mereka tak memenuhinya maka Allah akan mengalihkan nikmat itu kepada orang lain." (riwayat Ahmad).

ISTIDRAJ dan 5 TAHAP KEHIDUPAN

"Maka tatkala mereka melupakan (mengabaikan) peringatan (agama) yang disampaikan kepada mereka, Kami (Allah) bukakan segala pintu untuk mereka, sampai mereka gembira dengan apa yang diberi itu, baru Kami melakukan siksaan kepada mereka dengan sekonyong-konyong, maka saat itu mereka berputus asa (panik)." (QS. Al-An'am VI: 44).

Menurut Imam Ahmad (Hambali), dalam suatu hadist yang berasal dari Uqbah bin Amir, Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
"Apabila engkau melihat seorang hamba diberi Allah apa yang diingininya dari dunia ini, pada saat ia selalu mendurhakaiNya, maka sesungguhnya yang demikian itu adalah istidraj."

Kemudian Nabi Muhammad SAW membacakan ayat (Al-An'am 44) itu.
Dalam hadist ini jelas sekali bahwa seorang hamba (manusia) yang dibukakan Allah pintu dunia padanya dalam berbagai bentuk dan keadaan, sedang dia selalu bersikap durhaka kepada Allah, berupa tidak mengindahkan syariat Allah, tidak mengerjakan perintah dan tidak menjauhi larangan, maka orang itu berada dalam istidraj dan dia akan menghadapi 5 fase dalam hidupnya menurut kandungan ayat 44 surat Al-An'am itu.
Oleh karena dalam kehidupan modern ini banyak sekali hal itu terjadi maka baiklah kita gali dan selidiki masalah ini untuk menjadi pegangan hidup dan semoga kita terjauh dari bahayanya.

Apakah istidraj itu?
Perkataan istidraj itu ditemukan dalam Al-Quran yaitu tepatnya dalam surat Al-A'raf ayat 182 yang artinya:
"Mereka yang tidak membenarkan ayat-ayat Kami, nanti Kami lakukan istidraj terhadap mereka dari pihak yang mereka tidak mengetahui." (QS. Al-A'raf VII: 182).
Perkataan istidraj itu menjadi pembahasan mendalam oleh para ulama tauhid, tafsir, tashauf dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai ta'rif dan definisi.
Istidraj itu ialah seseorang yang diperkenankan Allah keperluannya dari waktu ke waktu sampai akhir hayatnya untuk nanti digali dengan bala dan azab di dunia. Seorang yang jauh dari rahmat Allah dan dekat dengan azab secara berangsur-angsur, atau sedikit demi sedikit. Demikian yang dikemukakan Al-Jurjani dari berbagai pendapat.
Raghib Ashfahani ahli bahasa Al-Quran dalam membahas kata dalam ayat itu mengemukakan beberapa pendapat orang pula, dalam bentuk: Kami (Allah) akan lipat mereka sebagai halnya melipat kitab. Pun Kami akan siksa mereka setingkat demi setingkat, demikian berupa merendahkan mereka dalam sesuatu sedikit demi sedikit, bagaikan tangga dalam naik dan turun.
Ahli tafsir yang terkenal Ibnu Katsir lebih maju lagi dengan menggambarkan bentuk kehidupan orang yang istidraj itu akan berlaku padanya, yaitu Allah bukakan berbagai-bagai pintu rejeki dan berbagai sumber penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) sampai mereka terperdaya olehnya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas segala-galanya." (Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal 258).
Sampai di sini kiranya sudah cukuplah bila dipahami bahwa seorang yang membawakan hidupnya dalam kedurhakaan, terjauh dari taufik dan hidayah Allah, bergelimang dengan maksiat dan munkarat, berani membangkang terhadap syariat Allah, baik dengan ilmu dan sikap hidupnya mentorpedir peraturan-peraturan Allah, maka orang itu berada istidraj.
Allah membiarkan saja dahulu dan membukakan pintu rejeki, kesenangan, kedudukan, kemewahan, dan keangkuhan, lalu mengira bahwa dunia ini berada di tangannya, dapat ia berbuat sesuka hatinya. Ketentuan azab datang dari Allah pada saat mereka sampai taraf gembira ria. Alangkah banyaknya sebagian dari kita yang telah bercermin dan melihat kehidupan insani dalam dunia modern ini yang dihinggapi istidraj, lalu mereka terperdaya benar-benar olehnya. Sungguh mengerikan sekali, kita melihat kejatuhan mereka dari puncak kemegahan, kesenangan dan keangkuhan, dan jatuh dari sesuatu yang menyenangkan lebih pahit dari penderitaan biasa. Namun demikian, masih banyak manusia yang tidak sadar dan insaf, betapa ilustrasi hidup ini sudah demikian jelasnya. Yang menyedihkan pula ialah kalau dari pihak orang yang beriman yang taat ikut terpukau oleh kilauan gemerlap dunia yang dimiliki oleh orang yang terkena istidraj, karena tidak pandai melihat soal dengan bashirah yang tajam.

Lima Fase.
Dalam surat Al-An'am ayat 44 di atas yang disebutkan Rasulullah, jelas ada 5 fase yang akan dihadapi orang yang tidak mengindahkan agama Islam ini sebagai janji Allah yang selalu akan berlaku dan tidak akan berubah-ubah sepanjang zaman.
1. Falamma nasuu, tatkala mereka melupakan peringatan-peringatan agama. Dalam membahas kata nasuu, Raghib Asfahani memperingatkan bahwa melupakan itu timbul ada kalanya disebabkan oleh hati yang lemah, kelalaian dan disengaja (kesengajaan). Dengan ini maka melupakan itu bukan artinya tidak ingat atau tidak sadar, tetapi juga dalam bentuk kesengajaan, mungkin oleh karena dianggap ajaran Islam itu tidak modern, tidak akan membawa kemajuan, dan sebagainya. Dianggapnya memberatkan saja dan mempersempit, seperti berat mengeluarkan zakat, berpuasa, larangan terhadap judi, khamer (minuman keras), zalim, pergaulan bebas muda-mudi, dan sebagainya, dalam bentuk: tidak mengindahkan Islam.
2. Fatahna alaihim abwaba kulli syai', Kami bukakan kepada mereka pintu segala sesuatu, entah pintu curang, khianat, zalim, sombong, ataukah pintu mabuk kemegahan, kecantikan, kekuasaan, dan sebagainya. Allah membukakan, malah membiarkan saja apa yang diperbuat oleh hambanya itu tanpa ada sesuatu teguran ghaib atau sejenisnya. Maka terperdayalah mereka dengan uluran waktu yang demikian dan mengira dunia ini berada di tangan mereka. Kalau sudah demikian, mata dan hati akan tertutup dari melihat Nur Ilahi, cahaya yang hak dan malah akan membencinya dengan sepenuh daya dan kemampuan. Kalau sudah demikian, apa lagi?
3. Hatta idza farihuu bima utuu, sampai mereka gembira mendapatkan apa yang sesuai dengan nafsu dan keinginannya. Apa maunya mereka itu maka Allah akan mengulurkan segala sesuatunya sehingga mereka tambah terperdaya dan hanyut ke hilir, mendekati titik kehancuran dan keruntuhannya. Kegembiraan yang luar biasa itu adalah puncak yang telah dicapainya, tetapi dia merupakan pula pemberitahuan Ilahi akan adanya bahaya yang akan terjadi. Tidaklah gembira sekedar gembira, tetapi gembira yang sangat berbahaya sekali, bahaya yang akan merenggut segala sesuatunya. Apa yang akan terjadi sesudah itu?
4. Akhadznahum baghtatan, Kami akan bertindak (memberi azab) dengan sekonyong-konyong, bukan di akhirat yang masih jauh, tetapi di dunia ini di tengah-tengah mata orang banyak, di atas hamparan kesenangan yang sekian lama memperdayakannya. Baghtatan, datangnya siksaan atau tindakan Allah itu sekonyong-konyong tanpa dapat diduga lebih dahulu. Dan memang orang yang telah mabuk dalam sesuatu tentu tidak akan mengkhayalkan di ruangan matanya akan ada akibat buruk, bencana besar dan bahaya yang dahsyat. Akhirnya, bagaimana?
5. Fa idza hum mublisun, akhirnya mereka dengan direnggutkan dari segala yang ada itu menjadi mublisun, prihatin yang sangat, panik berantakan, melihat gelap masa depannya, putus asa, dan mungkin juga ada sedikit penyesalan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur, palu godam Ilahi sudah berlaku. Tinggallah mereka menjalani akhir proses istidraj yang licin jalannya itu.
Bukan saja sakit dan perihnya akibat yang ditimpakan Allah, tetapi juga cemooh, sinis, dan ejekan orang banyak, karena dia jatuh di tengah manusia ramai dan disoroti oleh tatapan mata orang banyak. Melihat kepada orang banyak, hanay akan terlihat mereka memalingkan muka. Menengadahkan muka ke langit (pada Allah) dia baru menerima kutukan dan laknat, dengan suara halus, "RASAKAN!"

Kisah masa lalu.
Seorang petani desa jaman dahulu ingin memiliki emas dengan melanggar prinsip syariat Islam, yaitu menjual susu sapi yang dicampur air. Usahanya itu berhasil tanpa mendapat teguran Ilahi sampai ia mengira bahwa kerjanya itu berjalan lancar dan menggembirakan. Maka dengan emas yang didapatnya itu dia menjadi gembira luar biasa, ia sudah sampai pada tahap: farihu bima utu. Dengan emas yang menjadi kegembiraannya itu maka ia pergi berlayar untuk keperluan pribadinya, menumpang kapal yang diatasnya itu banyak penumpang lainnya. Ia menumpang di atas dek kapal sedang didepannya itu ada seekor monyet yang diikat dengan rantai. Kalau orang lagi bangun maka si petani ini pura-pura tidur dan bila orang tidur, ia bangun dengan melihat emas yang didapatnya dari hasil menipu itu. Hal ini selalu diperhatikan monyet itu sehingga pada satu kali si monyet itu tanpa diduga-duga, leapas dari ikatannya dan segera mengambil emas orang itu selagi ia tidur. waktu monyet mengambil emas itu, maka si petani terbangun lalu mengejar si monyet, tetapi monyet itu mempermainkannya, apalagi dia pandai memanjat dan melompat. Orang itu bagaikan gila dibuatnya. Tak lama kemudian monyet itu melemparkan emas itu ke dalam laut, hingga petani itu bagaikan disambar petir, karena emas kesayangannya lenyap. Itulah saat berlaku akhaznahum baghtatan, Allah bertindak lagi, dengan terlepasnya monyet itu tanpa diduga-duga dan petani menjadi mublisun, panik berantakan. Demikianlah kisah ini diceritakan oleh ulama besar Ibnu Qayim.

Kalau sudah demikian adanya maka bagi kita yang telah membiasakan hidup dalam ketaatan akan selalu berpegang teguh pada aturan Allah (dengan penuh tawakal), sesuai dengan janji Allah:
"Dan bahwa jikalau mereka tetap istiqamah dalam hidupnya, niscaya Kami akan menuangi mereka air yang manis (rejeki yang lumayan). (QS. Jin LXXII: 16).
Semoga kita dan keturunan kita dijauhkan Allah dari bahaya istidraj yang kelihatan manis dan menggiurkan pada mulanya, namun pahit pada akhirnya. Apalagi bagi pejuang yang hak, jangan silau mata oleh kemegahan orang lain yang sedang dipermainkan gelombang badai istidraj tersebut.

KEBANGKITAN ISLAM LEWAT ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Hijrah adalah peristiwa penting dan bersejarah bagi seluruh umat Islam. Ia bukan saja bermakna bermulanya perkiraan takwim bulan hijrah, malah merujuk kepada peristiwa penghijrahan Rasulullah Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah yang mengandung rahasia, keistimewaan dan konsepnya tersendiri.
Sejarah peristiwa Nabi Muhammad SAW diperintahkan oleh Allah berhijrah dari Makkah ke Madinah ketika ruang perjuangan Rasulullah terlalu sempit dan terhimpit. Baginda Nabi tidak memilih untuk berdoa meminta kelapangan yang sudah tentu Allah akan kabulkan. Sebaliknya, terpaksa menempuh jalan yang berat, berbahaya dan beresiko tinggi karena diburu musuh untuk mencapai suatu keadaan yang lebih baik. Melalui perintah hijrah, Rasulullah SAW berusaha merancang dan bertindak. Penghijrahan seumpama Rasulullah dan sahabat tidak berlaku lagi kepada umat Islam setelah Rasulullah. Namun, konsep penghijrahan tetap berlanjut di kalangan umat Islam.
Rasulullah bersabda, "Tiada lagi hijrah sesudah pembukaan kota Makkah, tetapi hijrah yang tetap ada adalah jihad dan niat untuk berhijrah (apabila keadaan memaksa) dan apabila dipanggil untuk berjihad (atau sebagainya) hendaklah kamu bersiap sedia."
Merujuk kepada bahasa Arab, perkataan hijrah bermaksud bergerak meninggalkan satu tempat untuk ke tempat lain dalam usaha mencari pembaharuan yang mengarah kepada yang lebih baik. Dalam konteks yang lebih luas, hijrah boleh dipahami sebagai perpindahan dari suatu keadaan kurang baik kepada keadaan lebih baik, daripada keadaan negatif kepada yang lebih positif. Ia juga berarti meninggalkan kepercayaan dan amalan serta peraturan dan cara hidup yang bertentangan dengan ajaran Islam sebagai agama yang diridhai oleh Allah.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Abu Daud daripada Abdullah bin Hubsyi, Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah." Sehubungan dengan itu, persoalan yang sering terlintas di pikiran adalah apa, di mana dan kemana arah tujuan kita, khususnya umat Islam di negar ini dalam menghayati konsep hijrah pada era globalisasi?
Khalifah Umar bin Khattab pernah mengungkapkan pendapatnya mengenai hijrah itu (yang artinya):
"Hijrah itu memisahkan antara yang haq dengan yang batil. Oleh sebab itu (abadikanlah dengan menjadikannya titik tolak penanggalan."
Itulah sebabnya penanggalan Islam dinamakan tahun hijriyah, yang berasal dari kata hijrah.
Jika diteliti dan dihayati, konsep hijrah pada era globalisasi mengajak umat Islam untuk memanfaatkan berbagai aspek kemajuan masa kini untuk mencapai kejayaan hidup di dunia dan akhirat. Tetapi, tanpa sifat sanggup berhijrah, mustahil kejayaan akan tercapai dan kemajuan ummat tidak akan berhasil.
Islam tidak menyuruh kita berdiam diri dan menunggu Allah memberi sesuatu kepada kita tanpa berusaha. Allah berfirman bermaksud: "Bagi setiap orang ada malaikat penjaganya dari hadapan dan belakangnya yang menjaganya dengan perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila dikehendaki oleh Allah, keburukan kepada sesuatu kaum, maka tidak ada yang dapat menolak, dan tidak ada pelindung bagi mereka selain daripadaNya." (QS. Ar-Rad : 11).
Justru umat Islam hari ini mestilah berusaha mempersiapkan diri untuk melakukan hijrah menuju kepada alaf baru. Dunia tidak akan menunggu suatu umat untuk sama-sama mencapai kemajuan dan kecemerlangan. Golongan mundur biasanya sengaja mewujudkan halangan untuk cemerlang dalam hidupnya.
Bagi golongan maju, mereka senantiasa bersedia berhadapan dan berusaha untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan seperti perasaan takut gagal untuk bersaing, sikap suka bertangguh, malas, banyak dalih dan banyak angan-angan. Oleh karena itu, beberapa aspek persiapan diri perlu dilakukan oleh umat Islam untuk mencapai kemajuan dan kejayaan.
KEMANTAPAN INDIVIDU ISLAM YANG BERIMAN.
Hijrah turut mengajak bagaimana memuhasabah dan menilai diri, hati dan jiwa serta usaha untuk memiliki sifat mahmudah (terpuji), seperti ikhlas, rela, sabar, amanah, dan berkepribadian mulia. Pada waktu yang sama juga menghindari sifat mazmumah (keji), seperti sombong, riyak, dengki, dan kikir untuk tidak diamalkan dalam kehidupan.
Selain itu, usaha mewujudkan perpaduan dan persaudaraan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu menjadi agenda, peranan dan tanggungjawab bersama untuk dilaksanakan dalam konteks kepentingan umat Islam sejagat.
Kepentingan dan kelebihan ilmu pengetahuan amat penting bagi membantu kejayaan dalam bidang apapun. Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk senantiasa menambah ilmu baik yang berhubungan dengan urusan dunia maupun kehidupan sesudah mati. Sesuai dengan Firman Allah yang artinya: "Apakah orang yang taat beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, yang dia akan takut pada azab hari akhirat serta mengharapkan rahmat Tuhannya akan sama dengan orang-orang musyrik? Katakanlah: Adakah sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang dapat mengambil peringatan hanyalah orang yang berakal sempurna." (QS. Az-Zumar : 9).
Ayat di atas jelas menerangkan kelebihan orang yang berpengetahuan berbanding dengan orang yang tidak berpengetahuan dalam memainkan peranan bagi mencapai kemajuan. Kemajuan teknologi informasi dan kecanggihan komunikasi. Konsep hijrah menyarankan agar segala kemudahan yang ada dapat dimanfaatkan selain untuk mendewasakan dan meningkatkan aktualisasi diri juga untuk memberikan manfaat pengetahuan dan pendidikan bagi orang lain. Dengan demikian akan terjadi peningkatan kesejahteraan dalam kehidupan, di samping membantu usaha menyebarluaskan lagi syiar Islam di seluruh penjuru dunia, tanpa batasan waktu dan tempat. Semua ini akan membantuk mengembalikan kegemilangan, tamadun, dan martabat umat Islam di mata dunia.

Hijrah sebagai strategi.
Dalam setiap perjuangan selalu memakai strategi dan taktik. Strategi adalah merupakan induk, sedang taktik laksana anak. Setiap taktik yang dilakukan tidak boleh terlepas dari strategi.
Sikap hijrah yang dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat, walau sepintas lalu kelihatan sebagai satu taktik, tapi pada hakekatnya adalah dalam rangka satu strategi yang menyeluruh.
Ada kalanya dalam suatu perjuangan, tatkala timbul suatu kondisi yang amat sulit, harus menentukan pilihan sementara waktu mundur, tapi tidak melepaskan strategi. Dengan mundur sebagai taktik ialah karena memperhitungkan lawang yang pada saat itu mempunyai kekuatan yang dapat menguasai, sedang pihak sendiri yakin terhadap kebenaran yang dipertahankan melawan kepalsuan yang hendak ditegakkan lawan. Dengan sikap mundur (hijrah) berarti sementara menerima kenyataan tentang keunggulan lawan (negara-negara non Islam dan musuh-musuh Islam), tapi dengan sikap itu terjamin kelanjutan (konsistensi) perjuangan menegakkan peradaban Islam. Sikap yang pertama taktis, sedang yang kedua strategis. Apalagi berkenaan dengan sikap hijrah Rasulullah itu, sebagaimana diuraikan di atas sudah ada restu dari Sang Pemegang Kekuasaan Tunggal, yaitu Allah SWT.

Fakta Sejarah.
Fakta sejarah kemudian memang menunjukkan bahwa hijrah itu tak ubahnya sebagai batu landasan/fondasi (mijlpaal) dalam sejarah kebangkitan Islam. Sebab setelah terjadi hijrah tersebut, hanya dalam tempo yang relatif pendek kira-kira 10 tahun, dengan mengambil kota Madinah sebagai basis, maka terbentuklah satu Daulah Islamiyah, dimana dapat dijalankan dan dipraktekkan ajaran-ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, masyarakat dan negara, dalam arti kata seluas-luasnya. Bukan semata-mata itu, tapi dari kota tempat hijrah itu, yang mendapat bantuan penuh dari kaum Anshar saat itu, berkembanglah agama Islam dan segala ajaran-ajarannya ke Timur dan Barat, sehingga akhirnya meliputi seluruh jagat rayat ini.
Dalam hubungan ini, dapat disimpulkan bahwa hijrah Nabi Muhammad itu adalah permulaan kebangkitan Islam dan ufuk tempat memancarnya kemerdekaan umat. Apabila kita merayakan hari bersejarah itu (tahun baru Islam), maka sesungguhnya yang kita peringati dan rayakan ialah suatu hari yang menjadi garis pemisah antara yang haq dan yang batil. Suatu momentum sejarah di mana kaum muslimin memperoleh kebebasan menjalankan tugas-tugas mereka, mencapai kemerdekaan melaksanakan ibadah, menjelmakan kebahagiaan umat yang lepas sama sekali dari intrik-intrik musuh. Dan yang terpenting, kaum muslimin dapat menegakkan keyakinan keagamaan dengan hak-hak yang penuh." (Muhammad Rasulullah wa khatamun Nabiyin, hal 99).

Hijrah sebelum hijrah.
Tidak perlu diuraikan satu demi satu tentang perjalanan hijrah itu dan perkembangannya kemudian, sebab hal itu adalah laksana matahari di waktu siang hari. Tapi yang perlu disimpulkan ialah nilai-nilai rohaniah yang terkandung di dalam peristiwa tersebut, seperti ruhul-jihad, daya-juang, keberanian, tahan menderita, teguh hati, sabar dan tawakkal, serta semangat syuhada yang terus menyala-nyala.
Hal ini adalah berkat latihan yang dilakukan oleh para sahabat sebelum hijrah dari kota Mekkah. Pada hakekatnya mereka telah melakukan "hijrah" sebelum hijrah, bukan penyingkiran fisik, tapi semacam hijrah hati nurani, yang dinamakan oleh Profesor Mahmud Syaltut dengan istilah: hijratul qalbiyah. Yaitu, menyingkir dari tengah-tengah arus kemusyrikan yang melanda masyarakat dan ummat manusia pada waktu itu. Mereka dapat bertahan dan mempertahankan diri di tengah-tengah gelombang kemerosotan, tidak hanyut dan tidak tenggelam, tidak dapat dipengaruhi oleh jiwa manusia yang kesat dan kotor, yang dilakukan dengan bermacam-macam tekanan dan intimidasi.
Dengan latihan-latihan itu, mental mereka semakin matang dan mempunyai bentuk yang lebih mantap, tak ubahnya laksana besi yang dibakar di dalam api kemudian dipukul, sehingga mematangkan untuk mencari bentuk yang sesuai buat dijadikan alat yang memberikan faedah, bahkan pada gilirannya dapat dipergunakan untuk memukul (memukul lawan yang hendak mengancam peradaban dan harga diri Islam).
Suasana dan kondisi jiwa yang demikianlah yang menguntungkan dan merupakan faktor yang menentukan bagi kaum Muhajirin, sehingga tatkala mereka sudah dihadapkan kepada kenyataan melakukan hijrah fisik, hijratul badaniyah, maka jiwa mereka sudah mantap, tidak bimbang dan ragu-ragu dan tidak bergoncang sedikitpun juga dalam menghadapi kesulitan demi kesulitan.

Iktibar untuk kaum muslimin di abad jahiliyah modern yang penuh fitnah.
Bagi kita kaum muslimin yang hidup di abad kemajuan ini, yang diberi julukan sebagian orang dengan "zaman jahiliyah modern yang penuh fitnah", adalah sikap hijrah hati nurani itu (hijratul qalbiyah) yang perlu dipupuk dan ditingkatkan. Artinya, di tengah-tengah kemerosotan nilai-nilai yang semakin meluas, hendaklah kaum muslimin jangan terbawa hanyut.
Banyak contoh-contoh yang menunjukkan orang-orang yang dapat dipukau oleh harta, kemewahan, kedudukan, kursi yang empuk walau "berkepinding dan penuh duri" sehingga yang tadinya terkenal sebagai seorang pejuang, akhirnya berangsur-angsur hilang dari masyarakat, bahkan kadang-kadang menjadi benalu. Timbullah istilah-istilah yang terkenal dengan sebutan "erosi idealisme", yaitu penggundulan cita-cita. Dan bagi yang terus bertekad berjuang menegakkan Islam, waspadalah, saat ini begitu banyak jebakan, fitnah, dan undang-undang yang penuh fitnah yang berusaha untuk menjegal ataupun mengkambinghitamkan Anda sebagai "PELAKU TINDAK TERORISME". Walaupun yang hanya dilakukan seseorang itu sekedar menyebarkan dakwah ataupun mengungkapkan kebenaran, namun di dunia modern ini begitu banyak konspirasi yang tidak hanya didalangi oleh musuh-musuh Islam, namun juga didukung oleh para antek-antek pengkhianat yang justru adalah sebagian orang Islam sendiri yang sudah hilang rasa cintanya kepada Islam, hilang keimanannya maupun sudah hilang akal sehatnya, karena terbius oleh kursi jabatan, uang, dan iming-iming duniawi yang ditawarkan oleh para dajal-dajal musuh Islam (negara-negara asing yang membenci keberadaan orang-orang Islam, peradaban Islam, dan budaya serta hukum Islam). Maka kembangkanlah ilmu pengetahuan dan teknologi yang didasari oleh akhlak dan akar budaya Islam, sehingga akan bangkitlah kembali peradaban Islam yang modern yang sepenuhnya dipegang dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Islam, kaum muslimin, dan bukannya dikuasai atau dimonopoli oleh kaum non muslim seperti yang sekarang terjadi. Maka benarlah suatu pendapat yang mengatakan, siapa yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, maka dialah yang menguasai peradaban dunia. Maka bangkitlah Islam melalui ilmu pengetahuan, agar di masa depan, kitalah yang mengendalikan dunia, yang memiliki peradaban yang bercerminkan pada akar budaya dan ajaran Islam. Alangkah indahnya bila itu bisa terwujud, membangkitkan kembali peradaban Islam, dan upaya itu haruslah dirintis mulai dari sekarang, dengan banyak-banyak menuntut ilmu dan belajar! Jangan mau kalah dengan kaum kafir dan bangsa-bangsa yang dahulu pernah merampok ilmu dan peradaban Islam saat perang salib dahulu! Ilmu dan peradaban Islam dalam sejarah terbukti sudah diklaim menjadi hak cipta kaum kafir seperti yang sekarang terjadi. Padahal ilmu-ilmu pengetahuan modern yang ada sekarang adalah sebagian besar berasal dari pemikiran dan penemuan ilmuwan-ilmuwan Islam di masa lalu. Contohnya saja ilmu matematika Aljabar (Algebra) yang merupakan ilmu pengetahuan yang ditemukan oleh para ilmuwan Islam di jaman dahulu, demikian juga dengan ilmu falaq (astronomi) itu juga adalah ilmu hasil penemuan ilmuwan Islam yang sekarang justru dieksplorasi dan digunakan oleh bangsa-bangsa non-Islam dan diklaim sebagai hasil penemuan mereka. Maka bangkitlah Islam, dan rebutlah kembali apa yang dahulu menjadi milik kita!
Maka bacalah (IQRA !) dan belajarlah! Tingkatkan daya intelektualisme Anda, jadikan diri Anda sendiri pintar, pandai dan jenius demi kemajuan peradaban Islam! Demi kemaslahatan umat manusia di bumi dengan berdasarkan atas syariat Islam!

Mutiara terpendam dalam peristiwa hijrah.
Sebagai penutup kita pinjam di sini kesimpulan tentang mutiara-mutiara terpendam dalam peristiwa hijrah itu, seperti yang disimpulkan oleh Dr. M. Abdur Rahman Baishar dalam kata pendahuluan buku "Adwaun alal Hijrati", sebagai berikut:
1. Melukiskan kemantapan iman yang bersemi dalam jiwa Nabi Muhammad saw dan para sahabat, yang bersedia mengorbankan rumahtangga, harta benda, dan kehidupan keluarga dalam mempertahankan aqidah (kepercayaan dan keyakinan) terhadap ajaran Islam yang haq (yang benar). Perlu diperhatikan di sini, bahwa saat ini demikian banyak aliran Islam yang salah yang mengajarkan kesesatan, dan bahkan kemusyrikan. Itulah sebabnya berkacalah pada hati nurani dan mohon petunjuk kepada Allah agar kita selalu dituntun ke jalan yang benar yang mendapat cahaya dan petunjuk.
2. Keberanian yang luar biasa menghadang penderitaan dalam satu perpindahan yang penuh kegelapan duniawi, yang belum jelas perspektif hari depannya. Mereka rela mengalami penderitaan sebagai akibat dari sikap menyingkir (hijrah) untuk menegakkan agama Allah.
3. Sikap hijrah itu dilakukan dengan kesucian jiwa, kejernihan pikiran dan merupakan manifestasi hubungan yang dekat dan baik dengan Tuhan seru sekalian alam.
4. Melaksanakan satu khittah atau strategi perjuangan yang mempunyai tujuan untuk mencapai kemenangan.
5. Sikap hijrah itu menunjukkan perlawanan antara yang haq dengan yang batil, yang pada tingkat terakhir menghancurkan kebatilan.