Sabtu, 17 Desember 2011

INILAH MUAMALAT, BUKAN YANG LAIN!

EKONOMI VERSUS MUAMALAT
   Amal pokok pada perekonomian Islam (pengertian yang tepat adalah muamalat, dan bukan ’ekonomi Islam’!) adalah pelarangan riba dan pajak. Hal ini secara  fundamental memisahkan Islam dari kapitalisme. Pelarangan riba mengenyahkan kemungkinan terakumulasinya (bertumpuknya) kapital yang bermula dari (penciptaan) kredit oleh bank yang sangat menguntungkan perbankan. Memberikan kredit, bagi perbankan, adalah men-ciptakan uang dari kehampaan. Pelarangan riba juga mencegah terakumulasinya kekuasaan melalui (muslihat) konsep pemilikan mayoritas. Konsep struktur pemilikan kapitalistik (atas dasar mayoritas saham) bukan saja bertentangan dengan hukum kontrak dalam Islam (syirkat) tetapi juga, de facto, merupakan bentuk perampasan atas hak milik pribadi orang lain (pemegang saham minoritas). Dalam muamalat juga tidak dikenal istilah ’investor tidur’. Kemungkinan terbentuknya sebuah kemitraan investasi, dalam Islam, hanyalah melalui qirad (disebut juga sebagai mudharabah), sedangkan syirkat mensyaratkan keterlibatan ke dua belah pihak secara adil.
   Selanjutnya muamalat bila dijalankan dengan benar akan dengan sendirinya menghilangkan apa yang dalam sistem kapitalis dikenal sebagai ’kelas pekerja’ (working class).  Muamalat menghilangkan kemungkinan timbulnya persoalan yang hari ini disebut sebagai ’pengangguran massal’.  Sebab  model hubungan ’buruh-majikan’ dalam pabrik-pabrik yang inheren dalam sistem kapitalis digantikan dengan model hubungan ’master-apprantice’ (mu’allim-mubtadi’) dalam gilda-gilda (sinf). Gilda merupakan satuan usaha yang cocok dengan bentuk kontrak syirkat,  mengikuti kaidah muamalat. Selain itu, para anggota gilda mengembangkan  etika  futuwwa yang memberikan penghargaan kepada mereka yang murah hati, mau berkorban, sabar, disiplin, patuh kepada master gilda dan hidup sederhana.
   Mengembalikan gilda dalam tatanan masyarakat hari ini bukanlah sebuah romantisme pada kejayaan model satuan-satuan usaha otonom pada  abad pertengahan.Sebab, bahkan para kapitalis modern sekarang pun, telah membuktikan bahwa  struktur ’self-managed team’ yang menyerupai gilda-gilda terbukti paling efisien dalam proses produksi.  Dalam konteks Islam, kontrak-kontrak bisnis yang benar (syirkat),  dengan sendirinya akan beroperasi dalam bentuk gilda-gilda atau, bila bentuknya kemitraan investasi, akan beroperasi  sebagai qirad. Yang terakhir ini akan mengembalikan berjalannya   perdagangan yang sebenarnya, melalui kafilah-kafilah pedagang (karavan), dan bukan sekadar ’konvoi distributor’.
   Muamalat merupakan penegasan dan perlindungan pada perdagangan. Allah menegaskan dalam al-Quran, Surat Al Baqarah ayat  275, bahwa ’perdagangan dihalalkan dan riba diharamkan’. Muamalat memastikan persamaan hak bagi semua pedagang di pasar, bukan saja terhadap akses, melainkan juga atas prasarana dasar perdagangan. Konsep dasar muamalat dalam menjamin berjalannya perdagangan Islami adalah pendirian pasar-pasar terbuka. Ini berarti bahwa model perdagangan Islam, sekali lagi untuk memperlihatkan kontrasnya dengan kapitalisme, sama sekali berbeda dari pasar yang umum kita lihat hari ini.
   Apa yang dalam kapitalisme disebut sebagai perdagangan, dalam bentuk mal-mal dan pasar-pasar swalayan (mini, super, sampai hyper-market),  sama sekali bukan perdagangan dalam pengertian muamalat.  Dalam perspektif muamalat kita dapat menyebut sistem ini sebagai distribusi monopolistik.  Perhatikan saja sekeliling kita. Warung-warung dan toko-toko kelontong setiap hari semakin berkurang,  digantikan hanya oleh dua jaringan mini-market, Alfamart dan Indomart, yang semakin hari semakin merajalela sampai ke kampung-kampung penduduk.  Sementara pasar-pasar swalayan lain, yang berskala menengah, juga semakin berkurang digantikan oleh sejumlah kecil hyper-market berskala besar.
   Perbedaan mendasar antara ’distribusi’ dan perdagangan adalah ada atau tidaknya prasarana perdagangan umum dan terbuka yang dapat diakses kapan pun oleh siapa pun yang hendak berdagang dengan posisi setara. Pasar, dalam ajaran Islam, selain  terbuka bagi setiap orang, tidak boleh dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam menyatakan bahwa ’Sunnah-ku di pasar sama dengan Sunnah-ku di masjid’. Maka, bahkan mendirikan bangunan permanen di pasar, yang mengakibatkan tertutupnya akses bagi umum, juga  tidak dibenarkan apalagi menguasainya. Para pedagang Muslim sejati, sepanjang sejarah Islam, selalu bergerak bebas, sendiri-sendiri maupun dalam kafilah-kafilah dagang (Karavan), dari satu pasar terbuka ke pasar terbuka  lainnya.
   Pasar-pasar ini tidak ada yang permanen. Hanya untuk keperluan pengamanan barang-barang berharga bangunan permanen di bangun sebatas sebagai gudang-gudang penyimpanan, sebagai fasilitas umum. Pasar pertama di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam, baqi’ al-Zubayr, pun sepenuhnya merupakan lapangan terbuka. Terkait dengan keberadaan pasar-pasar terbuka ini adalah institusi wakaf, yang kemungkinan bentuknya tentu saja jauh lebih luas dari sekadar pasar, yang juga menjadi elemen penting kehidupan gilda-gilda.
   Di Indonesia kita tinggal merasakan sisa-sisa beroperasinya pasar-pasar Islami tersebut. Di Jawa Tengah masih dikenal nama-nama lima hari pasaran:  Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon,  yang dulunya menandakan dibukanya pasar-pasar yang ’bergerak’ dari satu kota ke kota lain, secara bergiliran menurut hari-hari pasaran yang ditentukan. Di wilayah DKI Jakarta dahulu beroperasi sejumlah pasar yang dinamai berdasarkan hari-hari dalam sepekan: Pasar Senin, Pasar Rebo (Rabu), Pasar Jum’at, dan Pasar Minggu,  yang kini tinggal nama belaka. Kalau pun masih ada yang berfungsi  sebagai pasar, seperti Pasar Senen, ia  telah berubah menjadi kumpulan mal dan pasar swalayan.
Pengenaan segala bentuk retribusi dan pajak di pasar  juga haram hukumnya, dengan jaminan oleh pemerintah (bukan justru  memajaki para pedagang, sebagaimana dilakukan oleh negara fiskal).  Di sini, sekali lagi, kita melihat bahwa pemerintahan negara kapitalis yang memajaki rakyatnya sendiri adalah sebuah otoritas yang mengingkari  fungsinya sebagai pelindung masyarakat.  Apalagi,  akhirnya hanya  sedikit saja  pajak itu yang dikembalikan kepada rakyat, karena sebagian besar diserahkan sepenuhnya kepada rentenir sebagai cicilan utang.
  Dalam konteks Indonesia sebagaimana akan dibuktikan di belakang nanti, uang tersebut diserahkan  kepada Bank Dunia, ADB (Asian Development Bank)  dan IMF (International Monetary Fund); selain kepada bank-bank komersial lainnya. Itu pun hanya sanggup untuk mencicil bunganya, dan tidak pernah mampu mengurangi utang pokoknya. Nilai cicilan utang tiap tahunnya telah mencapai 45% dari nilai Produk Domestik Bruto (PDB).  Total utang Indonesia sendiri, pada 2006, telah mencapai 134,74 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.280 triliun).
Muamalat, dengan gilda-gilda dan karavan, melalui kontrak-kontrak syirkat dan qirad, serta penyediaan pasar-pasar terbuka dan wakaf,  menempatkan kembali pribadi-pribadi sebagai manusia bermartabat.  Manusia tidak lagi diposisikan sekadar sebagai konsumen yang terus-menerus dieksploitasi untuk menyerap semua produk yang dihasilkan oleh industri.  Pada saat yang sama, dalam posisi berbeda secara diametral dengan kapitalisme, muamalat membuktikan bahwa kapitalisme telah menempatkan manusia ke dalam posisi terendah dalam kehidupan ekonomi: sebagai buruh. Dan, posisi terendah ini, dalam pengertian ia juga merupakan bentuk kehidupan ekonomi yang paling tidak efisien. Kapitalisme, dalam prakteknya, telah menciptakan dan melestarikan suatu sistem yang  tidak berbeda halnya dengan sistem perbudakan, entah disebut konsumen, buruh, atau pembayar pajak, atau debitur.  Islam, dalam koridor syariah, membuka pintu kepada kebebasan individu yang sejatinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar