EKONOMI VERSUS MUAMALAT
Amal pokok pada perekonomian Islam (pengertian yang tepat adalah muamalat, dan bukan ’ekonomi Islam’!) adalah pelarangan riba dan pajak. Hal ini secara fundamental memisahkan Islam dari kapitalisme. Pelarangan riba mengenyahkan kemungkinan terakumulasinya (bertumpuknya) kapital yang bermula dari (penciptaan) kredit oleh bank yang sangat menguntungkan perbankan. Memberikan kredit, bagi perbankan, adalah men-ciptakan uang dari kehampaan. Pelarangan riba juga mencegah terakumulasinya kekuasaan melalui (muslihat) konsep pemilikan mayoritas. Konsep struktur pemilikan kapitalistik (atas dasar mayoritas saham) bukan saja bertentangan dengan hukum kontrak dalam Islam (syirkat) tetapi juga, de facto, merupakan bentuk perampasan atas hak milik pribadi orang lain (pemegang saham minoritas). Dalam muamalat juga tidak dikenal istilah ’investor tidur’. Kemungkinan terbentuknya sebuah kemitraan investasi, dalam Islam, hanyalah melalui qirad (disebut juga sebagai mudharabah), sedangkan syirkat mensyaratkan keterlibatan ke dua belah pihak secara adil.
Amal pokok pada perekonomian Islam (pengertian yang tepat adalah muamalat, dan bukan ’ekonomi Islam’!) adalah pelarangan riba dan pajak. Hal ini secara fundamental memisahkan Islam dari kapitalisme. Pelarangan riba mengenyahkan kemungkinan terakumulasinya (bertumpuknya) kapital yang bermula dari (penciptaan) kredit oleh bank yang sangat menguntungkan perbankan. Memberikan kredit, bagi perbankan, adalah men-ciptakan uang dari kehampaan. Pelarangan riba juga mencegah terakumulasinya kekuasaan melalui (muslihat) konsep pemilikan mayoritas. Konsep struktur pemilikan kapitalistik (atas dasar mayoritas saham) bukan saja bertentangan dengan hukum kontrak dalam Islam (syirkat) tetapi juga, de facto, merupakan bentuk perampasan atas hak milik pribadi orang lain (pemegang saham minoritas). Dalam muamalat juga tidak dikenal istilah ’investor tidur’. Kemungkinan terbentuknya sebuah kemitraan investasi, dalam Islam, hanyalah melalui qirad (disebut juga sebagai mudharabah), sedangkan syirkat mensyaratkan keterlibatan ke dua belah pihak secara adil.
Selanjutnya muamalat bila dijalankan dengan benar akan dengan
sendirinya menghilangkan apa yang dalam sistem kapitalis dikenal sebagai
’kelas pekerja’ (working class). Muamalat menghilangkan kemungkinan
timbulnya persoalan yang hari ini disebut sebagai ’pengangguran
massal’. Sebab model hubungan ’buruh-majikan’ dalam pabrik-pabrik yang
inheren dalam sistem kapitalis digantikan dengan model hubungan
’master-apprantice’ (mu’allim-mubtadi’) dalam gilda-gilda (sinf). Gilda
merupakan satuan usaha yang cocok dengan bentuk kontrak syirkat,
mengikuti kaidah muamalat. Selain itu, para anggota gilda mengembangkan
etika futuwwa yang memberikan penghargaan kepada mereka yang murah
hati, mau berkorban, sabar, disiplin, patuh kepada master gilda dan
hidup sederhana.
Mengembalikan gilda dalam tatanan masyarakat hari ini bukanlah sebuah
romantisme pada kejayaan model satuan-satuan usaha otonom pada abad
pertengahan.Sebab, bahkan para kapitalis modern sekarang pun, telah
membuktikan bahwa struktur ’self-managed team’ yang menyerupai
gilda-gilda terbukti paling efisien dalam proses produksi. Dalam
konteks Islam, kontrak-kontrak bisnis yang benar (syirkat), dengan
sendirinya akan beroperasi dalam bentuk gilda-gilda atau, bila bentuknya
kemitraan investasi, akan beroperasi sebagai qirad. Yang terakhir ini
akan mengembalikan berjalannya perdagangan yang sebenarnya, melalui
kafilah-kafilah pedagang (karavan), dan bukan sekadar ’konvoi
distributor’.
Muamalat merupakan penegasan dan perlindungan pada perdagangan. Allah
menegaskan dalam al-Quran, Surat Al Baqarah ayat 275, bahwa
’perdagangan dihalalkan dan riba diharamkan’. Muamalat memastikan
persamaan hak bagi semua pedagang di pasar, bukan saja terhadap akses,
melainkan juga atas prasarana dasar perdagangan. Konsep dasar muamalat
dalam menjamin berjalannya perdagangan Islami adalah pendirian
pasar-pasar terbuka. Ini berarti bahwa model perdagangan Islam, sekali
lagi untuk memperlihatkan kontrasnya dengan kapitalisme, sama sekali
berbeda dari pasar yang umum kita lihat hari ini.
Apa yang dalam kapitalisme disebut sebagai perdagangan, dalam bentuk
mal-mal dan pasar-pasar swalayan (mini, super, sampai hyper-market),
sama sekali bukan perdagangan dalam pengertian muamalat. Dalam
perspektif muamalat kita dapat menyebut sistem ini sebagai distribusi
monopolistik. Perhatikan saja sekeliling kita. Warung-warung dan
toko-toko kelontong setiap hari semakin berkurang, digantikan hanya
oleh dua jaringan mini-market, Alfamart dan Indomart, yang semakin hari
semakin merajalela sampai ke kampung-kampung penduduk. Sementara
pasar-pasar swalayan lain, yang berskala menengah, juga semakin
berkurang digantikan oleh sejumlah kecil hyper-market berskala besar.
Perbedaan mendasar antara ’distribusi’ dan perdagangan adalah ada
atau tidaknya prasarana perdagangan umum dan terbuka yang dapat diakses
kapan pun oleh siapa pun yang hendak berdagang dengan posisi setara.
Pasar, dalam ajaran Islam, selain terbuka bagi setiap orang, tidak
boleh dimiliki dan dikuasai oleh orang-orang tertentu saja. Rasulullah
sallallahu ‘alayhi wasallam menyatakan bahwa ’Sunnah-ku di pasar sama
dengan Sunnah-ku di masjid’. Maka, bahkan mendirikan bangunan permanen
di pasar, yang mengakibatkan tertutupnya akses bagi umum, juga tidak
dibenarkan apalagi menguasainya. Para pedagang Muslim sejati, sepanjang
sejarah Islam, selalu bergerak bebas, sendiri-sendiri maupun dalam
kafilah-kafilah dagang (Karavan), dari satu pasar terbuka ke pasar
terbuka lainnya.
Pasar-pasar ini tidak ada yang permanen. Hanya untuk keperluan
pengamanan barang-barang berharga bangunan permanen di bangun sebatas
sebagai gudang-gudang penyimpanan, sebagai fasilitas umum. Pasar pertama
di Madinah yang dibangun oleh Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam,
baqi’ al-Zubayr, pun sepenuhnya merupakan lapangan terbuka. Terkait
dengan keberadaan pasar-pasar terbuka ini adalah institusi wakaf, yang
kemungkinan bentuknya tentu saja jauh lebih luas dari sekadar pasar,
yang juga menjadi elemen penting kehidupan gilda-gilda.
Di Indonesia kita tinggal merasakan sisa-sisa beroperasinya
pasar-pasar Islami tersebut. Di Jawa Tengah masih dikenal nama-nama lima
hari pasaran: Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon, yang dulunya
menandakan dibukanya pasar-pasar yang ’bergerak’ dari satu kota ke kota
lain, secara bergiliran menurut hari-hari pasaran yang ditentukan. Di
wilayah DKI Jakarta dahulu beroperasi sejumlah pasar yang dinamai
berdasarkan hari-hari dalam sepekan: Pasar Senin, Pasar Rebo (Rabu),
Pasar Jum’at, dan Pasar Minggu, yang kini tinggal nama belaka. Kalau
pun masih ada yang berfungsi sebagai pasar, seperti Pasar Senen, ia
telah berubah menjadi kumpulan mal dan pasar swalayan.
Pengenaan segala bentuk retribusi dan pajak di pasar juga haram
hukumnya, dengan jaminan oleh pemerintah (bukan justru memajaki para
pedagang, sebagaimana dilakukan oleh negara fiskal). Di sini, sekali
lagi, kita melihat bahwa pemerintahan negara kapitalis yang memajaki
rakyatnya sendiri adalah sebuah otoritas yang mengingkari fungsinya
sebagai pelindung masyarakat. Apalagi, akhirnya hanya sedikit saja
pajak itu yang dikembalikan kepada rakyat, karena sebagian besar
diserahkan sepenuhnya kepada rentenir sebagai cicilan utang.
Dalam konteks Indonesia sebagaimana akan dibuktikan di belakang
nanti, uang tersebut diserahkan kepada Bank Dunia, ADB (Asian
Development Bank) dan IMF (International Monetary Fund); selain kepada
bank-bank komersial lainnya. Itu pun hanya sanggup untuk mencicil
bunganya, dan tidak pernah mampu mengurangi utang pokoknya. Nilai
cicilan utang tiap tahunnya telah mencapai 45% dari nilai Produk
Domestik Bruto (PDB). Total utang Indonesia sendiri, pada 2006, telah
mencapai 134,74 miliar dolar AS (sekitar Rp 1.280 triliun).
Muamalat, dengan gilda-gilda dan karavan, melalui kontrak-kontrak
syirkat dan qirad, serta penyediaan pasar-pasar terbuka dan wakaf,
menempatkan kembali pribadi-pribadi sebagai manusia bermartabat.
Manusia tidak lagi diposisikan sekadar sebagai konsumen yang
terus-menerus dieksploitasi untuk menyerap semua produk yang dihasilkan
oleh industri. Pada saat yang sama, dalam posisi berbeda secara
diametral dengan kapitalisme, muamalat membuktikan bahwa kapitalisme
telah menempatkan manusia ke dalam posisi terendah dalam kehidupan
ekonomi: sebagai buruh. Dan, posisi terendah ini, dalam pengertian ia
juga merupakan bentuk kehidupan ekonomi yang paling tidak efisien.
Kapitalisme, dalam prakteknya, telah menciptakan dan melestarikan suatu
sistem yang tidak berbeda halnya dengan sistem perbudakan, entah
disebut konsumen, buruh, atau pembayar pajak, atau debitur. Islam,
dalam koridor syariah, membuka pintu kepada kebebasan individu yang
sejatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar